Memeluk Luka


Hidup ini tak pernah benar-benar bisa ditebak. Terkadang, seperti badai yang datang tiba-tiba, menggulung semua yang kita kira sudah kokoh berdiri. Badai itu datang dalam bentuk perpisahan yang tak pernah dibayangkan akan terjadi. Ketika ditinggalkan oleh pasangan hidup, hidup tak akan pernah sama lagi. Namun, tidak ada pilihan selain bertahan. Luka itu hadir bukan hanya karena kehilangan, tetapi juga karena stigma yang datang bertubi-tubi. Di lingkungan sekitar, label "janda" sering kali terasa lebih seperti vonis daripada sekadar status. Tatapan iba, bisik-bisik di belakang, hingga komentar-komentar yang menyakitkan menjadi makanan sehari-hari. "Kenapa nggak bisa mempertahankan rumah tangga?" atau "Pasti ada yang salah," adalah beberapa contoh dari banyaknya penghakiman yang harus dihadapi.

Namun, yang paling menyakitkan adalah saat stigma itu datang dari sesama perempuan. Mereka yang seharusnya saling mendukung dan menguatkan, justru menjadi sumber luka baru. Ketika seorang berkata dengan nada merendahkan, "Kasihan anaknya, besar tanpa ayah. Apa nggak takut jadi liar?" atau sekedar ucapan OOh...Janda??? so what dengan janda???  hati seperti disayat. belum lagi kadang sebagai bahan candaan....aah...seandainya kalian mengerti, perasaaanya.  Tetap tersenyum  bahkan tertawa tapi ada rasa nyeri, terluka dan sedih dibaliknya. Ingin rasanya membela diri, menjelaskan bahwa usaha telah dilakukan sekuat tenaga menjadi orang tua yang baik, tetapi memilih diam. Terkadang diam adalah cara terbaik untuk menjaga martabat.

Di tengah badai itu, satu hal penting dipelajari: luka tidak perlu disembunyikan. Luka adalah bagian dari perjalanan hidup, dan memeluk luka adalah langkah pertama untuk sembuh. Setiap malam, saat dunia mulai hening, air mata dibiarkan mengalir. Perasaan-perasaan yang selama ini terpendam dilepaskan. Memeluk luka bukan berarti menyerah, melainkan menerima kenyataan bahwa rasa sakit itu nyata.

Ada masa di mana keterpurukan terasa begitu dalam. Trauma dari masa lalu sering kali menghantui. Ingatan tentang rasa dikhianati, diinjak harga dirinya  dan ketakutan akan masa depan sering kali menyeruak di tengah malam. Namun, hidup tidak bisa terus berada dalam bayang-bayang masa lalu. Langkah untuk bangkit harus diambil.

Berbagai cara dicoba untuk menyembuhkan diri. Membaca buku-buku motivasi, datang kekajian berdiam diri dimasjid untuk menenangkan diri saat kesediihab dan trauma muncul. itu menjadi jalan untuk menemukan kekuatan baru.

Seiring berjalannya waktu, luka itu perlahan mulai sembuh. Meski bekasnya tetap ada, rasa terbebani oleh masa lalu perlahan menghilang. Belajar berdamai dengan diri sendiri menjadi kunci, menerima bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan, dan bahwa itu tidak apa-apa.

Perjalanan ini masih panjang. Akan ada tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi, tetapi rasa takut tidak lagi mendominasi. Luka-luka yang pernah dipeluk kini menjadi bagian dari kekuatan, pengingat bahwa begitu banyak hal telah dilalui dan tetap bertahan.

Dari perjalanan ini, pesan penting ingin disampaikan: jangan pernah meremehkan perjuangan seorang single parent. Jangan pernah menghakimi tanpa tahu cerita di baliknya. Menjadi single parent bukanlah pilihan yang mudah, tetapi itu bukanlah sesuatu yang memalukan. Sebaliknya, itu adalah bukti kekuatan, keberanian, dan cinta tanpa syarat. Jangan menjadikan sebagai bahan bercandaan jika tidak pernah tahu bagaimana dia berusaha keras membangun mentalnya untuk tetap berdiri tegak dihadapan manusia lain.

Bagi siapa pun yang sedang melalui perjalanan serupa, pesan ini juga disampaikan: "Peluklah luka itu. Terimalah bahwa itu adalah bagian dari dirimu, tetapi jangan biarkan luka itu mendefinisikan siapa kamu. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan, dan kamu tidak sendirian."

Hidup memang tidak selalu adil, tetapi ada keindahan di balik setiap luka, asalkan kita mau melihatnya. Dengan setiap langkah kecil yang diambil, seorang single parent menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah pejuang sejati.



Posting Komentar

0 Komentar