Aku mengenalnya dengan tiba-tiba. Seperti sebuah takdir yang tak bisa kutolak, kami bertemu di sebuah kafe yang selalu aku kunjungi saat aku di kota itu. Pada awalnya, aku hanya duduk sendirian, menikmati secangkir kopi hangat dan melamun dalam kesunyian ditengah bisingnya suasana kafe. Lalu, dia datang, duduk di meja sebelah, dengan tatapan yang hangat dan senyuman yang membuat aku merasa nyaman.
Kami berbicara tanpa beban, seolah-olah sudah saling mengenal lama. Dia begitu mudah untuk diajak bicara, dan aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan kami. Setiap kata yang dia ucapkan terasa begitu tulus, tanpa pretensi. Kami mulai bertemu lebih sering, menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang banyak haltentang kehidupan, tentang harapan, tentang segala sesuatu yang belum sempat kami capai. Dia menjadi bagian dari hari-hariku, hadir di saat-saat aku merasa lelah dan membutuhkan seseorang.
Kemudian, pada suatu hari yang tenang, dia mengungkapkan sesuatu yang membuat hatiku berdebar.
“Aku mencintaimu,” katanya dengan serius, menatapku dalam-dalam.
Aku terdiam sejenak. Mungkin aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku secepat itu, tetapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku merasa hangat, yang membuatku merasa bahwa aku telah menemukan seseorang yang memahami aku. Kata-katanya yang penuh dengan cinta dan harapan membawa aku ke dunia yang indah, di mana semua rasanya mungkin bisa berjalan dengan sempurna.
Hari-hari setelah itu penuh dengan kata-kata manis, perhatian, dan pujian. Setiap pagi, dia mengirimkan pesan yang menyatakan betapa berartinya aku untuknya. Setiap malam, kami berbicara hingga larut, saling berbagi cerita, saling menguatkan. Dia tampak begitu sempurna, dan aku merasa sangat beruntung bisa mengenalnya. Janji-janji manis itu datang begitu mudah, dan aku percaya. Aku percaya pada setiap kata yang dia ucapkan, percaya pada hubungan yang kami bangun.
Namun, perlahan, semuanya mulai berubah. Beberapa bulan setelah pernyataannya itu, aku mulai merasakan ada yang berbeda. Pesan-pesan yang dulu datang setiap pagi, kini hanya sesekali. Panggilan telepon yang selalu ada sebelum tidur, mulai berkurang. Kata-kata manis yang dulu selalu mengalir deras, kini terasa hambar, dan suasana yang dulu begitu hangat, kini mulai terasa asing. Dia yang dulu selalu ada, kini lebih jarang hadir dalam hidupku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan itu. Ada jarak yang tak bisa aku pahami, sebuah kekosongan yang perlahan tumbuh di antara kami. Aku mencoba untuk bertanya, mencoba untuk mencari tahu, tetapi setiap kali aku mengajukan pertanyaan, dia hanya menjawab dengan kalimat yang menghindar. “Aku butuh waktu,” katanya. “Aku sedang banyak pikiran.”
Semakin aku mencari penjelasan, semakin aku merasa tersesat. Ada sesuatu yang hilang, tetapi aku tidak tahu apa. Aku merasa seolah-olah aku sedang berbicara dengan seseorang yang bukan lagi orang yang sama. Kami yang dulu begitu dekat, kini menjadi begitu jauh dan asing. Setiap kali aku berusaha untuk mendekat, dia semakin menjauh. Hingga akhirnya, dia menghilang begitu saja. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada penjelasan. Dia pergi tanpa jejak.
Saat itu, aku merasa seolah-olah semua yang kami bangun hanya sebuah ilusi. Janji-janji itu kosong. Kata-kata yang dulu terucap begitu indah kini terasa seperti angin yang hilang. Aku merasa dikhianati, tapi yang lebih sakit lagi adalah kebingungannya. Kenapa dia berubah? Apa yang salah? Kenapa aku selalu bertemu dengan orang yang datang hanya sejenak dan menyisakan luka?
Aku tidak tahu jawabannya. Aku tidak tahu apa yang salah dengan diriku atau dengan hubungan itu. Semua terasa begitu cepat berlalu, seperti sebuah mimpi yang hancur begitu saja. Mungkin aku terlalu naif, terlalu mudah percaya pada kata-kata indah tanpa melihat lebih dalam. Mungkin aku terlalu berharap pada sesuatu yang belum tentu nyata.
Kini, aku sudah tidak tahu lagi apakah aku ingin menemukan seseorang yang baru. Aku sudah tidak lagi berharap pada pertemuan yang indah, karena aku takut akan kekecewaan yang lebih dalam. Aku hanya ingin satu hal jangan biarkan aku bertemu lagi dengan orang yang salah. Jangan biarkan mereka datang hanya untuk memberi harapan, lalu menghilang tanpa jejak, meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh.
Aku sudah lelah, lelah dengan harapan-harapan yang kandas, lelah dengan janji-janji yang terucap tanpa bukti. Aku hanya ingin kedamaian, ingin berada dalam hidup yang lebih sederhana, tanpa harus terus-menerus mencari kebahagiaan dari luar. Aku hanya ingin menemukan ketenangan dalam diriku sendiri, tanpa harus bergantung pada orang lain yang datang hanya untuk sementara.
Aku tahu, mungkin ada yang mengatakan bahwa kehidupan akan memberikan apa yang kita butuhkan ketika waktunya tepat, tetapi aku sudah terlalu lelah untuk berharap. Aku hanya ingin hidupku berjalan dengan damai, tanpa terperangkap lagi dalam permainan hati yang tak pasti. Jika suatu saat ada yang datang dengan niat yang tulus, maka aku akan menyambutnya. Tetapi jika tidak, aku akan belajar untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidup dengan lebih bijaksana.
Karena yang lebih penting sekarang adalah menemukan kembali diriku, tanpa tergantung pada orang lain. Dan jika seseorang datang, aku akan menantikannya dengan hati yang lebih siap. Tetapi untuk saat ini, aku hanya ingin melangkah maju, tidak lagi terjebak dalam kenangan yang menyakitkan, dan tidak lagi bertemu dengan orang-orang yang hanya datang untuk meninggalkan luka.
Terima kasih untuk semuanya yang pernah terlewati
Depok Januari 2025
0 Komentar