Kadang, aku duduk sendiri, merenung dalam sunyi. Betapa banyak rencana yang kususun rapi, betapa banyak harapan yang kutanam dengan hati penuh keyakinan, namun hidup tetap berjalan di luar kendaliku. Aku pernah menginginkan sesuatu dengan begitu kuat, menggenggamnya erat dalam doa, berharap ia tetap tinggal. Tapi pada akhirnya, ia pergi meninggalkanku, seolah tak pernah menjadi bagian dari hidupku. Aku juga pernah berusaha sekuat tenaga untuk meraih sesuatu, namun semakin aku mengejar, semakin jauh ia berlari. Di saat itu, aku bertanya dalam hati, “Mengapa, ya Allah? Mengapa jalannya seperti ini?” Aku merasa seakan hidup mempermainkanku, menempatkanku dalam situasi yang tidak aku inginkan. Namun, seiring waktu, aku mulai memahami bahwa takdir Allah selalu memiliki maksud yang jauh lebih besar dari sekadar apa yang aku inginkan.
Semakin jauh aku melangkah, semakin aku mengerti bahwa Allah tidak pernah salah dalam menetapkan jalan bagi hamba-Nya. Jika aku kehilangan sesuatu yang begitu aku cintai, itu bukan karena aku tidak pantas memilikinya, tetapi karena Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih pantas untukku. Jika aku terjatuh dan merasakan pahitnya luka, itu bukan hukuman, bukan bentuk ketidakadilan dari-Nya, melainkan cara-Nya menguatkanku, membentukku menjadi pribadi yang lebih tangguh. Ada saatnya aku merasa begitu rapuh, begitu lelah menghadapi kenyataan yang tidak selalu sesuai dengan keinginanku, tetapi dalam setiap sujud panjangku, aku menemukan jawaban bahwa semua ini bukan tanpa alasan.
Kita hanyalah hamba yang harus selalu siap menjalani takdir yang telah digariskan. Takdir itu bukan sesuatu yang bisa kita pilih, bukan pula sesuatu yang bisa kita hindari. Kadang ia datang dalam bentuk kebahagiaan yang melimpah, tetapi di lain waktu ia hadir sebagai ujian yang menguji kesabaran dan keikhlasan kita. Namun, apapun bentuknya, takdir selalu membawa kita menuju rencana terbaik yang telah Allah siapkan. Aku mulai memahami bahwa menerima takdir dengan hati yang lapang bukanlah tanda kelemahan, tetapi bentuk kepasrahan yang penuh keyakinan kepada-Nya.
Aku pernah bertemu dengan seseorang yang mengajarkanku arti menerima takdir dengan ketulusan. Ia adalah seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam kecelakaan. Aku melihat bagaimana air matanya jatuh tanpa suara, bagaimana sujudnya semakin panjang di setiap malamnya. Aku bertanya padanya, "Apakah tidak ada rasa marah atau kecewa kepada Allah?" Ia tersenyum lemah dan berkata, "Bagaimana aku bisa marah pada Allah, sedangkan aku ini hanyalah hamba-Nya? Aku hanyalah ibu yang dititipi anak untuk sementara. Jika Allah mengambilnya kembali, itu hak-Nya. Tugas kita sebagai hamba adalah menerima dan menjalani takdir dengan keikhlasan." Kata-kata itu membekas begitu dalam di hatiku. Betapa sering aku mengeluh ketika keinginanku tidak terwujud, padahal ada orang lain yang menghadapi kehilangan yang jauh lebih besar, tetapi tetap mampu berdamai dengan takdir.
Dulu, aku sering merasa takut akan masa depan. Aku cemas pada hal-hal yang belum terjadi, khawatir terhadap segala kemungkinan buruk yang bisa menimpaku. Aku lupa bahwa aku hanyalah hamba, sementara Allah adalah sebaik-baik Perencana. Tidak ada satu pun yang terjadi tanpa izin-Nya. Bahkan sehelai daun yang jatuh pun sudah tertulis dalam kitab-Nya sejak lama. Lalu, mengapa aku masih ragu? Mengapa aku masih mempertanyakan takdir yang telah digariskan untukku? Aku sadar, kecemasan itu hanya akan menguras kebahagiaan yang seharusnya bisa kunikmati saat ini. Yang seharusnya kulakukan bukanlah terus bertanya “Mengapa?”, melainkan belajar untuk menerima, belajar untuk meyakini bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari kasih sayang-Nya.
Aku ingat, ada masa di mana aku merasa begitu berat menjalani hidup. Hari-hari terasa gelap, langkah-langkah terasa begitu berat. Aku menangis dalam doa, bertanya kapan ujung dari segala kesulitan ini. Aku merasa seakan dunia sedang mengujiku tanpa henti, seolah kebahagiaan begitu jauh dari jangkauanku. Namun, perlahan aku menyadari bahwa setiap kesulitan yang Allah berikan, selalu ada jalan keluarnya. Aku hanya perlu bersabar dan terus melangkah. Allah telah menjanjikan dalam firman-Nya, "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." Janji itu tidak pernah meleset, dan aku yakin, setelah malam yang gelap, fajar pasti akan menyingsing. Setelah hujan yang deras, langit akan kembali cerah.
Aku mulai belajar melihat hidup dengan cara yang berbeda. Jika sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku, aku mencoba untuk tidak lagi bersedih berlarut-larut, karena aku yakin ada hikmah yang tersembunyi di baliknya. Jika aku diuji dengan kesedihan, aku mulai mengerti bahwa mungkin Allah sedang mengajakku untuk lebih dekat kepada-Nya, untuk lebih bergantung hanya kepada-Nya. Jika aku bertemu dengan orang-orang yang menyakitiku, aku mencoba untuk tidak menyimpan dendam, karena mungkin mereka adalah bagian dari rencana-Nya untuk mengajarkanku arti ketulusan dan keikhlasan. Aku mulai belajar bahwa hidup bukan tentang menuntut segalanya harus sesuai dengan kehendakku, melainkan bagaimana aku bisa berdamai dengan kenyataan dan menerima segala yang telah ditetapkan dengan hati yang lapang.
Keikhlasan itu tidak datang dalam sekejap. Ia adalah proses panjang, perjalanan yang penuh dengan pembelajaran. Awalnya, aku sering bertanya mengapa harus aku yang mengalami ini? Mengapa hidup terasa begitu sulit? Tetapi perlahan, aku mengerti bahwa keikhlasan bukanlah sekadar kata, melainkan sebuah keadaan hati yang berserah. Keikhlasan adalah saat aku berhenti melawan apa yang telah digariskan, saat aku tidak lagi menyalahkan keadaan, dan saat aku menerima segala sesuatu dengan keyakinan bahwa semua ini adalah bagian dari rencana-Nya yang jauh lebih indah dari apa yang mampu aku bayangkan.
Kini, aku tak ingin lagi meragukan takdir-Nya. Aku hanya ingin percaya, berserah, dan berprasangka baik. Aku ingin menjalani hidup dengan keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah yang terbaik bagiku. Jika sesuatu ditakdirkan untukku, ia akan datang dengan cara yang paling indah. Jika sesuatu bukan untukku, sekeras apa pun aku berusaha, ia tidak akan menjadi milikku. Dan itu tidak mengapa, karena aku percaya bahwa apa yang telah Allah tetapkan adalah yang paling baik.
Yang terpenting, aku ingin selalu mengingat bahwa dunia ini hanyalah tempat singgah. Tidak ada kehilangan yang sesungguhnya, karena di akhirat nanti, Allah akan mengganti setiap air mata dengan kebahagiaan yang abadi. Setiap luka yang kurasakan di dunia ini hanyalah bagian kecil dari perjalanan yang akan membawaku kepada kebahagiaan yang sesungguhnya. Maka, aku tidak ingin lagi berlarut dalam kesedihan. Aku ingin mengubah setiap duka menjadi senyum penuh kebahagiaan. Aku ingin menjalani hidup ini dengan penuh kesyukuran, dengan penuh keyakinan bahwa di setiap ujian, di setiap kesulitan, ada kebaikan yang sedang Allah persiapkan untukku.
Jadi, wahai hatiku, jangan lagi gelisah. Jangan takut pada apa yang belum terjadi. Allah bersamamu, mengatur langkah-langkahmu, menggenggam hatimu. Percayalah, rencana-Nya lebih indah dari yang bisa kau bayangkan. Dan pada waktunya, kau akan menoleh ke belakang, tersenyum, dan berkata, “Aku mengerti sekarang, ya Allah… Terima kasih untuk segala ketetapan-Mu.”
0 Komentar