Hujan sore itu menggiring langkahku masuk ke kafe kecil di sudut kota. Udara dingin dan rintik hujan yang membasahi jaketku membuatku mencari tempat berteduh. Aroma kopi segar menyambutku begitu aku membuka pintu, bercampur dengan dentingan pelan cangkir dan alunan musik jazz yang mengisi ruangan.
Aku memilih meja di dekat jendela, tempat aku bisa melihat jalanan yang basah dan langit kelabu yang seolah menggambarkan suasana hatiku. Pelayan datang, dan aku memesan secangkir kopi hitam, seperti biasa. Tak ada yang istimewa sore itu—atau setidaknya, begitu pikirku.
Beberapa menit kemudian, kamu datang. Wajahmu terlihat lelah, seperti seseorang yang sedang membawa beban berat. Kamu berdiri sejenak, menatap ruangan yang hampir penuh, sebelum matamu bertemu denganku.
“Boleh duduk di sini?” tanyamu, suaramu lembut tapi terdengar ragu.
Aku mengangguk, sedikit terkejut. “Silakan.”
Awalnya, kita hanya duduk diam, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Tapi suasana canggung itu perlahan memudar. Aku tidak ingat bagaimana percakapan kita dimulai, tapi tiba-tiba kita sudah saling berbicara, seperti dua orang yang sudah lama saling kenal.
Kamu bercerita tentang luka hatimu—tentang seseorang yang kamu cintai yang pergi tanpa alasan, meninggalkanmu dalam kehampaan. Aku mendengarkan dengan saksama, merasa seolah kamu sedang menceritakan bagian dari hidupku sendiri. Ketika giliranku bercerita, aku membuka luka lama yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Tentang dia yang pernah menjadi segalanya, yang akhirnya memilih meninggalkanku untuk sesuatu yang lebih baik.
“Aneh, ya,” katamu sambil tersenyum kecil, “kita baru saja bertemu, tapi malah saling berbagi cerita yang paling menyakitkan.”
Aku tersenyum tipis. “Mungkin karena kita tahu rasanya kehilangan. Itu membuat kita lebih mudah mengerti.”
Hari itu menjadi awal sesuatu yang tak pernah aku rencanakan. Kafe kecil ini, yang tadinya hanya tempat singgah, berubah menjadi tempat kita bertemu setiap minggu. Kita duduk di meja yang sama, dengan kopi dan teh hangat sebagai teman setia. Kita saling berbagi cerita, tawa, dan bahkan air mata.
Namun, semakin lama aku menyadari sesuatu. Meskipun kita saling mencintai, ada tembok besar yang memisahkan kita. Kamu masih terjebak dalam bayangan masa lalu, sementara aku ingin melangkah maju. Aku mencoba bertahan, berharap kamu akhirnya mau melepas masa lalumu, tapi aku tahu itu hanya keinginan sepihak.
“Kita harus berhenti,” kataku suatu sore, suara ku bergetar.
Kamu menatapku lama, matamu dipenuhi kesedihan yang tak terucap. Tapi kamu tidak berkata apa-apa, dan di situlah aku tahu bahwa ini adalah akhirnya.
Hari itu, kita meninggalkan kafe dengan hati yang lebih berat daripada saat kita pertama kali bertemu. Aku memilih mundur dari hubungan tanpa arah, meskipun perasaan kita tak pernah benar-benar usai.
Kini, setiap kali aku kembali ke kota ini, aku selalu mengunjungi kafe itu. Meja di dekat jendela masih ada, dan aku sering duduk di sana, memesan kopi hitam sambil mengenang hari-hari yang pernah kita habiskan bersama.
Aku tidak tahu apakah kamu juga pernah kembali. Mungkin kamu telah menemukan jalanmu, atau mungkin kamu juga masih terikat pada kenangan seperti aku. Tapi aku tahu satu hal: kafe ini adalah saksi bisu tentang cinta yang indah namun tak pernah selesai.
Meski kita tak bisa bersama, aku bersyukur pernah bertemu denganmu. Kamu mengajariku tentang cinta, kehilangan, dan bagaimana melepaskan sesuatu yang tak bisa dipertahankan. Dan untuk itu, aku akan selalu mengenangmu di sudut kota ini, di kafe kecil tempat kita saling bercerita tentang luka yang menyatukan kita.
Depok, Januari 2025
0 Komentar