![]() |
Setiap pagi, saat matahari mulai menyentuh langit dengan sinarnya yang lembut, aku selalu berdiri di depan cermin. Di sana, bayanganku memantul, seolah mengingatkan bahwa aku ada, aku nyata. Tetapi, lebih dari sekadar pantulan, cermin itu adalah saksi perjalanan panjang yang telah kulalui, perjalanan yang penuh dengan luka, harapan, dan keinginan.
Aku ingat, dulu aku benci bercermin. Setiap kali berdiri di depan cermin, yang kulihat hanyalah bayangan seseorang yang penuh kekurangan. Wajah itu, dengan mata yang tampak lelah dan bibir yang sering terkatup rapat, seperti membawa beban yang tak pernah kukenali sepenuhnya. Luka-luka masa kecil yang tersembunyi di sudut-sudut ingatan terus menghantui, menjadikan refleksi itu bukan sekadar pantulan fisik, tetapi juga cerminan dari jiwa yang rapuh.
Masa kecilku tidak selalu bahagia. Ada tawa, tentu saja, tetapi ada juga tangis yang tak terdengar oleh siapa pun. Ada harapan yang pupus sebelum sempat mengakar. Aku belajar sejak dini bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Ada saat-saat di mana aku merasa tidak dicintai, tidak cukup, tidak diinginkan. Kata-kata tajam yang dilemparkan tanpa pikir panjang, tindakan-tindakan kecil yang melukai hati, semuanya membentuk luka-luka kecil yang perlahan menumpuk. Aku tumbuh dengan membawa semua itu, tanpa benar-benar tahu bagaimana melepaskannya.
Ketika aku memasuki masa dewasa, luka-luka itu berubah bentuk. Mereka tidak lagi muncul sebagai tangis di malam hari, tetapi sebagai ketidakmampuan untuk mencintai diriku sendiri. Aku mengkritik diriku tanpa henti, selalu merasa kurang, selalu merasa gagal. Terlalu keras dengan diri sendiri untuk bisa mencapai apa yang kuinginkan penuh ambisi yang dipenuhi dengan kemarahan untuk dapat membuktikan bahwa aku mampu aku ada dan aku bisa. Aku mencari cinta dan penerimaan dari luar, berharap orang lain bisa mengisi kekosongan yang kurasakan di dalam diriku. Tetapi, seperti menggenggam pasir, semakin aku mencoba, semakin ia hilang dari genggaman.
Sampai suatu hari, aku berdiri di depan cermin itu lagi. Aku tidak tahu apa yang berbeda hari itu, tetapi untuk pertama kalinya, aku benar-benar melihat diriku. Bukan hanya wajahku, tetapi juga segala sesuatu yang ada di baliknya. Aku melihat seorang anak kecil yang pernah merasa sendirian, terluka, penuh tangis, merasa rendah diri, tidak dihargai, tidak dianggap berdiri disudut dengan ketakutan. Aku melihat seorang remaja yang bingung mencari arah ada keinginan besar mencapai cita-citanya tetapi seperti kehilangan harapan, remaja yang penuh ambisi untuk mencapai impiannya dengan begitu keras terhadap dirinya sendiri belajar tanpa mengenal waktu untuk menjadi remaja yang kuat, cerdas dan lepas dari cacian, seperti dua hal yang bertentangan membuat remaja itu seperti dalam persimpangan yang membingungkan. seorang remaja yang begitu ketakutan hanya karena keinginannya belajar atau sekedar membaca buku yang menjadi hobbynya. Masa kecil dan remajaku bukanlah masa yang menyenangkan datau membahagiakan. Ada luka-luka tersembunyi yang selalu menghantui, bahkan hingga kini. Rasa takut, kesepian, dan perasaan tidak cukup baik, tidak dihargai, dihina dicaci sering kali menjadi teman setia. Kenangan itu begitu kuat, dan meski aku berusaha melupakan, bayangannya selalu kembali menghantui. Luka-luka masa kecil itu membentuk cara pandangku terhadap dunia dan diriku sendiri, membuatku merasa tidak layak untuk bahagia.
Seakan cerita film yang cepat berputar Aku melihat sosok remaja menjadi seorang dewasa yang penuh ambisi mengejar karirrnya berusaha keras menjadi seorang ibu dan istri yang sempurna, yang berusaha keras mewujudkan impian tentang sebuah keluarga sesuai dengan idealismenya tentang sebuah keluarga yang bahagia, namun disisi lain dihajar kenyataan mentalnya berantakan ketika pengkhianatan datang, impian tentang keluarga bahagia hilang seketika mencoba bertahan meskipun merasa hancur, terluka, tersudut dianggap sebagai penyebab dari semua masalah, sosok yang terlihat begitu kuat, keras tangguh diluar tapi sebenarnya rapuh dan lemah., Menjadikan dirinya sosok dengan sifat yang keras, egois itulah benteng terkuat yang coba dipertahankan untuk melindungi dan manghadapi kerasnya dunia yang terus menerus menyerangnya. Aku pejamkan mata sejenak dan lepas dari pantulan cermin, Aku menyadari bisa terus terjebak dalam bayangan masa lalu, atau aku bisa memilih untuk bangkit dan menyembuhkan diri. Pilihan ini tidak mudah, butuh keberanian dan keteguhan hati. Namun, aku tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku ingin mencintai diriku sendiri, dan itu dimulai dengan memaafkan dan menerima. Aku mulai menyadari bahwa hidup adalah tentang pilihan.
Aku mulai mencari cara untuk menyembuhkan luka-luka batin ini. Mengikuti kajian, Meditasi menjadi salah satu caraku menemukan kedamaian dan ketenangan. Dari kajian, aku menemukan ketenangan dengan belajar agama dan mengerti makna tujuan hidup kita di dunia. Aku juga selalu berusaha untuk beristighfar dan memohon ampun kepada Allah setiap kali merasa lemah. Melalui meditasi, aku belajar menerima perasaan yang datang tanpa menghakimi. Aku membiarkan perasaan itu mengalir seperti sungai yang tenang, menyadari bahwa setiap emosi adalah bagian dari diriku yang perlu diterima.
Selain meditasi, menulis juga menjadi terapi bagi jiwaku. Menulis memberi ruang untuk mengekspresikan perasaan terdalam yang sulit diungkapkan. Aku menulis tentang masa kecilku, tentang luka yang pernah aku alami, dan tentang perjalanan hidupku. Melalui tulisan, aku menemukan cara untuk melihat segala sesuatu dari perspektif yang berbeda dan menemukan makna di balik setiap kejadian.
Perjalanan untuk menyembuhkan diri dimulai dari momen itu. Aku mulai dengan menerima bahwa aku terluka. Aku berhenti menyangkal masa laluku, berhenti berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku mengizinkan diriku untuk merasakan sakit, untuk menangis, untuk marah, untuk kecewa. Aku menulis, mencurahkan semua yang ada di dalam hati, membuka luka-luka itu satu per satu agar mereka bisa sembuh.
Aku belajar untuk memaafkan. Bukan hanya orang-orang yang pernah menyakitiku, tetapi juga diriku sendiri. Aku memaafkan diriku karena pernah merasa lemah, karena pernah membuat kesalahan, karena pernah membenci diri sendiri. Aku menyadari bahwa aku hanya manusia, dan tidak apa-apa jika tidak sempurna.
Aku mulai mencintai diriku dengan cara yang kecil tetapi bermakna. Aku memberi diriku waktu untuk beristirahat tanpa merasa bersalah. Aku melakukan hal-hal yang membuatku bahagia, meskipun itu hanya sekadar berjalan-jalan ke mall, tiduran tanpa melakukan apapun, belajar hal baru yang merupakan kesenanganku atau membaca yang merupakan kegiatan favoritku tanpa rasa ketakutan dan kekhawatiran. Aku berhenti membandingkan diriku dengan orang lain, berhenti mengejar standar yang ditentukan oleh orang lain. Aku mulai melihat diriku sebagai seseorang yang layak dicintai, bukan karena apa yang telah kulakukan, tetapi karena aku adalah aku. Tidak membiarkan seorangpun melukaiku lagi.
Lambat laun, refleksi di cermin itu berubah. Aku tidak lagi melihat seseorang yang penuh dengan kekurangan. Aku melihat seseorang yang kuat, yang telah bertahan melalui begitu banyak hal. Aku melihat seseorang yang sedang tumbuh, yang sedang belajar, yang sedang berusaha. Aku melihat diriku, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, aku merasa bangga.
Caraku menyembuhkan lukaku bukan berhenti mengejar cita-citaku, tetapi menurunkan ambisiku yang kadang tidak terkendali. Aku mulai memperbanyak kegiatan positif, seperti bekerja dengan sepenuh hati dan mengambil kuliah S2 untuk fokus pada pengembangan diri. Aku belajar menerima kekalahan, kekurangan, dan kenyataan bahwa tidak semua keinginan dapat tercapai. Namun, aku juga menyadari bahwa rasa syukur membuatku menjadi lebih tenang. Aku berhenti berharap terhadap apapun dan hanya berserah kepada Allah, dengan terus memperbaiki diri setiap harinya.
Aku juga merasa beruntung karena dalam perjalanan ini, aku pernah bertemu dengan seseorang. Aku menyebutnya dengan nama yang sederhana, seseorang yang kupanggil "Mba Lily". Kami tidak benar-benar saling mengenal, tetapi perbincangan kami menjadi salah satu momen yang mengubah cara pandangku. Aku menceritakan banyak hal, membuka sebagian besar luka yang selama ini kupendam. Aku merasa didengar, bukan untuk dihakimi, tetapi untuk diingatkan bahwa aku layak dicintai dan bahwa aku harus berani melepaskan hal-hal yang tidak baik untukku. Entah bagaimana, kata-katanya memberi ketenangan, seperti pelukan yang tak terlihat tetapi terasa hangat.
Hidup memang tidak selalu berjalan sesuai harapan. Ada mimpi-mimpi yang harus dilepaskan, ada rencana yang berantakan, ada jalan yang harus diubah arah. Tetapi aku belajar bahwa itu tidak apa-apa. Hidup adalah tentang bagaimana aku merespons semua itu, tentang pilihan yang kubuat setiap hari untuk terus maju, untuk terus mencoba.
Bercermin menjadi ritual bagiku. Setiap pagi, aku berdiri di depan cermin dan mengingatkan diriku akan perjalanan ini. Aku mengingatkan diriku bahwa aku telah melalui begitu banyak hal, bahwa aku kuat, bahwa aku layak dicintai. Aku mengingatkan diriku bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, untuk merasa takut, selama aku tidak menyerah.
Menyembuhkan diri adalah perjalanan yang panjang, dan mungkin aku tidak akan pernah benar-benar selesai. Tetapi aku belajar untuk menikmati prosesnya, untuk merayakan setiap langkah kecil yang kuambil. Aku belajar bahwa mencintai diri sendiri bukanlah sesuatu yang egois, tetapi sebuah keharusan. Karena hanya dengan mencintai diriku sendiri, aku bisa benar-benar mencintai orang lain. Hanya dengan menyembuhkan diriku sendiri, aku bisa menjadi seseorang yang lebih baik, yang lebih kuat.
Dan setiap kali aku berdiri di depan cermin itu, aku tersenyum. Bukan karena aku telah mencapai segalanya, tetapi karena aku tahu aku sedang menuju ke arah yang benar. Aku melihat diriku, dan aku merasa damai. Aku melihat diriku, dan aku merasa utuh. ikhlas dan berdamai dengan diri sendiri dan semesta. Alhamdulillah


0 Komentar