Sunyi itu bukan tentang tiada suara,
tapi tentang getaran hati yang tak terucap.
Ia adalah langkah-langkah senja yang merayap pelan,
menyentuh ujung jemari, lalu pergi tanpa permisi.
Sunyi adalah ruang kosong di antara dua tawa,
di mana bayang-bayang kenangan bergelayut,
menggantung di dinding hati yang retak,
menunggu waktu untuk jatuh, atau sembuh.
Sunyi adalah pelukan angin malam,
yang membisikkan lara pada daun-daun yang berguguran.
Ia adalah cermin yang memantulkan wajah sendiri,
tanpa perlu kata, tanpa perlu suara.
Sunyi adalah laut yang diam,
menyimpan gelombang di kedalaman,
menunggu badai untuk meluap,
atau tetap tenang, menjadi saksi bisu langit yang kelam.
Sunyi adalah aku,
yang duduk di tepi waktu,
memandang langit tanpa bintang,
meraba kehampaan yang tak terjawab.
Sunyi adalah kita,
yang saling mencari dalam gelap,
tanpa suara, tanpa kata,
hanya ada desahan yang tak tersampaikan.
Sunyi adalah cinta yang tak terungkap,
rindu yang tak terjamah,
dan hati yang terus berdetak,
meski tak ada yang mendengar.
Sunyi adalah keheningan yang berbicara,
dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh jiwa.
Ia adalah teman setia,
di saat semua pergi, ia tetap ada.
Sunyi adalah aku,
dan mungkin juga kamu,
yang diam-diam merindukan cahaya,
di tengah malam yang tak berujung.
0 Komentar