Kisah Cinta di Ujung Senja


Senja merambat perlahan di langit kota, membiaskan warna jingga keemasan yang begitu indah. Aku duduk di sebuah kafe kecil di sudut jalan, menikmati secangkir teh hangat sambil membaca buku. Setelah bertahun-tahun hidup hanya berdua dengan putriku, kebiasaan seperti ini menjadi pelarian kecil dari kesibukan sehari-hari. Aku telah terbiasa dengan kesendirian, atau setidaknya itulah yang selalu aku yakini.

Namun, hidup selalu punya cara mengejutkan. Saat aku tengah menikmati ketenangan itu, seorang pria duduk di meja sebelah. Dia tampak rapi, berusia hampir sebaya denganku, dengan sorot mata yang menyiratkan kelembutan sekaligus kesepian. Aku tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatianku.

Tanpa sengaja, tatapan kami bertemu. Dia tersenyum dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan anggukan kecil, kemudian kembali pada bukuku. Tapi tak butuh waktu lama baginya untuk memulai percakapan.

"Buku yang menarik?" suaranya terdengar hangat, tidak memaksa, namun cukup untuk mengusik duniaku yang biasanya sepi.

Aku menutup buku perlahan dan tersenyum tipis. "Iya, cukup menarik. Kadang-kadang, dunia dalam buku lebih nyaman daripada kenyataan."

Dia tertawa kecil. "Saya setuju. Tapi dunia nyata juga punya cerita yang tak kalah menarik, bukan?"

Percakapan itu mengalir tanpa kami sadari. Kami berbicara tentang hal-hal sederhana—tentang kopi, tentang buku, tentang betapa cepatnya waktu berlalu. Aku mengetahui bahwa dia seorang duda, istrinya meninggal beberapa tahun lalu. Berbeda denganku yang memiliki seorang putri remaja, dia tidak memiliki anak. Kesepian tampaknya menjadi bahasa yang sama yang kami pahami tanpa perlu banyak kata.

Hari itu berakhir dengan sebuah perasaan asing di dadaku. Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan—kerinduan akan sebuah kebersamaan. Saat pulang, aku menemukan diriku memikirkan pria itu lebih dari yang seharusnya.


Pertemuan itu ternyata bukan yang terakhir. Entah kebetulan atau takdir, kami kembali bertemu di tempat yang sama. Kali ini, dia datang dengan dua cangkir kopi dan menyodorkan salah satunya padaku.

"Aku tidak tahu seleramu, tapi ini kopi favoritku," katanya dengan senyum hangat.

Aku menerimanya dengan ragu, tapi ada sesuatu dalam caranya bersikap yang membuatku nyaman. Kami mulai bertemu lebih sering, entah karena kesengajaan atau hanya kebetulan yang terus berulang. Aku mulai mengenalnya lebih jauh, mulai mendengar cerita hidupnya, kehilangan yang pernah dia alami, dan bagaimana dia bertahan. Begitu pula sebaliknya, aku mulai berbagi tentang hidupku, tentang pernikahan yang telah berlalu, tentang perjuanganku membesarkan putriku sendirian.

Suatu hari, dia berkata dengan lembut, "Aku ingin mengenal putrimu. Jika aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, aku ingin juga menjadi bagian dari hidupnya. Aku tidak ingin hanya diterima olehmu, tapi juga olehnya."

Kata-katanya membuatku terdiam. Aku tahu, mencintai seorang ibu berarti juga mencintai anaknya. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa seseorang akan dengan tulus berusaha untuk masuk ke dalam hidupku dan putriku. Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Anakku, yang telah lama terbiasa hidup hanya denganku, mungkin akan sulit menerima kehadiran orang baru.

Namun, di matanya, aku melihat kesungguhan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada seseorang yang ingin membangun sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan biasa.


Aku akhirnya mengenalkan dia pada putriku. Pertemuan pertama berlangsung kaku. Putriku tidak banyak bicara, hanya menjawab seperlunya, dan aku bisa melihat keraguan di matanya. Aku tidak menyalahkannya. Baginya, laki-laki ini adalah orang asing yang tiba-tiba ingin masuk ke dalam kehidupan kami.

Tapi dia tidak menyerah. Dia tidak memaksakan diri untuk diterima. Dia hanya ada—dengan cara yang sederhana dan tulus. Kadang, dia membawakan buku untuk putriku, kadang dia sekadar bertanya tentang sekolahnya, tentang apa yang dia sukai. Dia tidak mencoba menggantikan siapapun, dia hanya ingin menjadi bagian kecil dalam dunia kami.

Lama-kelamaan, pertahanan putriku mulai melemah. Aku mulai melihatnya tersenyum ketika dia bercanda, mulai melihatnya tidak lagi menghindar saat dia ada. Dan pada suatu sore, saat kami bertiga duduk di teras rumah, putriku akhirnya berkata, "Kalau Mama bahagia, aku juga bahagia."

Kalimat itu begitu sederhana, namun memiliki makna yang begitu dalam bagiku. Aku tahu ini adalah restu terindah yang bisa aku dapatkan. Namun, aku juga sadar bahwa penerimaan butuh waktu, dan aku tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan besar.


Kini, setelah waktu yang cukup lama kami lewati bersama, aku dan dia mulai berbicara tentang masa depan. Kami tahu bahwa kami tidak lagi muda, bahwa kami tidak memiliki puluhan tahun seperti pasangan lain yang memulai cinta mereka di usia belia. Tapi justru karena itu, kami ingin menjalani waktu yang tersisa dengan penuh cinta dan kebersamaan.

"Aku tidak ingin terburu-buru," katanya suatu hari. "Aku ingin memastikan putrimu benar-benar menerima kehadiranku, bukan hanya karena dia ingin melihatmu bahagia, tapi karena dia juga merasa nyaman dengan keberadaanku. Aku ingin kita membangun keluarga kecil yang utuh, bukan hanya untuk kita berdua, tapi juga untuknya."

Hatiku menghangat mendengar kata-katanya. Setelah semua luka, semua ketakutan, dan semua kesepian yang pernah aku rasakan, aku akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya mencintaiku, tapi juga menghargai dunia kecil yang aku miliki.

Kami tahu, perjalanan ini masih panjang. Masih ada waktu yang harus kami jalani untuk memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik. Kami belum memutuskan tanggal, belum merencanakan pernikahan secara resmi. Kami ingin menunggu sampai putriku benar-benar siap menerima kehadirannya sepenuhnya.

Cinta datang di waktu yang tidak terduga, di usia yang tidak lagi muda. Tapi bukankah cinta sejati tidak pernah mengenal batas waktu? Kini, aku percaya bahwa kebahagiaan bisa datang kapan saja, selama kita berani membuka hati untuk itu.

Coretan sebuah kisah

Cimanggis, 0702025

Posting Komentar

0 Komentar