Hujan turun dengan tenang di luar jendela kafe. Butiran air membentuk jejak tak beraturan di kaca, sementara aroma kopi menyatu dengan bau tanah basah—kombinasi yang selalu membuatku merasa damai. Aku duduk di sudut kafe favoritku, tempat yang hampir selalu sepi saat hujan.
Lalu, seseorang masuk. Dengan jaket hitam dan topi yang masih meneteskan air, dia menoleh, lalu tersenyum. Senyum itu… seperti waktu yang kembali.
Dia mendekat. Duduk di hadapanku tanpa banyak kata, hanya saling pandang. Waktu tak benar-benar mengubahnya. Hanya matanya yang kini menyimpan lebih banyak cerita.
“Hai,” katanya.
“Hai,” jawabku, nyaris berbisik.
Kami diam lama. Tapi itu bukan diam yang canggung itu diam yang hangat. Seperti dua jiwa yang tahu, tidak perlu banyak kata untuk merasa pulang.
Aku menunduk, mencoba mengatur napas. Satu dekade berlalu, tapi detak jantungku masih mengenal irama saat dia ada.
“Aku suka tempat ini,” katanya, memecah sunyi. “Masih sama seperti dulu.”
Aku tersenyum. “Iya. Aku nggak pernah berhenti datang.”
Kami bicara tentang hal-hal kecil. Tentang cuaca. Tentang kopi. Tapi tak satu pun dari kami menyebut masa lalu. Mungkin karena kami tahu, kenangan itu tidak perlu diucapkan Dia sudah duduk di antara kami, menyeruput kopi bersama.
Aku memperhatikan gerimis yang menari di balik kaca. Ada jeda dalam setiap tegukan kopi, dalam setiap kalimat pendek yang kami ucapkan. Tak ada kalimat panjang, karena di antara kami, yang tak terucap justru lebih bermakna.
“Apa kabarmu?” tanyaku akhirnya.
Dia mengangguk pelan. “Baik. Sesekali masih menulis. Tapi lebih sering diam.”
Aku menatapnya lama. “Kau dulu suka bercerita.”
“Dan kamu suka mendengar.”
Kami tertawa kecil. Tawa yang getir. Karena tahu, yang sedang kami bicarakan bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang siapa kami saat masih saling percaya.
“Aku pernah ingin mencarimu,” katanya. “Tapi selalu terlambat.”
Aku tidak menjawab. Aku hanya mengaduk kopiku, meski gula di dasar cangkir sudah larut sejak tadi.
Waktu berjalan pelan di kafe itu. Musik mengalun lembut, lampu kuning menggantung seperti mata yang mengantuk. Di luar, hujan belum reda. Aku mulai merasa bahwa semesta memang sengaja mempertemukan kami di hari yang dingin.
“Aku sering ke sini,” kataku.
Dia mengangguk. “Kupikir begitu. Tempat ini... rasanya kamu sekali.”
Aku menoleh padanya. “Dan kamu?”
Dia tersenyum kecil. “Aku lebih banyak pergi.”
Kami saling diam. Masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri. Aku ingat saat dulu kami sering membicarakan masa depan, seolah hidup ini bisa kita rencanakan seperti jadwal kuliah.
Namun, takdir tak pernah menanyakan persetujuan.
Hujan mulai mereda. Tapi aku belum ingin pulang. Entah mengapa, ada bagian dari diriku yang ingin menggenggam waktu lebih lama,seolah dengan begitu, aku bisa mengisi ruang yang dulu kosong.
“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanyaku.
Dia terdiam. Lama.
“Aku hanya ingin tahu,” katanya akhirnya, “kamu bahagia?”
Aku menatap cangkir kosong di depanku. “Aku... baik-baik saja.”
Dia mengangguk, seperti memahami. Tapi aku tahu, kami sama-sama menyadari bahwa itu bukan jawaban yang sesungguhnya.
“Aku pernah marah padamu,” ucapku pelan. “Bukan karena kamu pergi. Tapi karena kamu diam.”
“Aku tahu. Dan aku menyesal.”
Aku menunduk. “Tapi sekarang... aku nggak marah lagi.”
Jam dinding berdetak pelan. Hujan kini hanya tinggal tetesan ringan dari atap kafe. Di luar, langit mulai gelap. Lampu jalan memantul di genangan, menciptakan bias cahaya yang sepi.
Aku meraih Hp. Ada pesan dari anakku.
"Bunda, udah di jalan pulang? Mau cerita soal kampus tadi."
Aku tersenyum, lalu meletakkan Hp di atas meja. “Aku harus pulang.”
Dia mengangguk. Tak menahan, tapi sorot matanya jujur, ada kehilangan yang diam-diam terasa.
“Kapan kita bisa ketemu lagi?”
“Mungkin nggak akan.”
Diam.
Lalu, dia mengeluarkan sebuah amplop dari tas selempangnya. Warnanya sudah kusam. Ia meletakkannya di meja, mendorongnya pelan ke arahku.
“Dulu aku pernah nulis ini. Malam sebelum kamu menikah. Tapi aku terlalu pengecut buat ngasih.”
Aku menatap amplop itu. Tak langsung menyentuh. “Kenapa sekarang?”
“Karena... sekarang aku sudah siap kalau kamu baca dan pergi. Nggak berharap apa-apa.”
Aku mengambil amplop itu, memasukkannya ke dalam tasku tanpa membukanya.
“Terima kasih,” kataku pelan. “Buat hari ini. Buat diam yang hangat.”
Dia tersenyum. “Sama-sama.”
Kami berdiri. Tak ada pelukan. Tak ada genggaman. Hanya pandang mata terakhir yang tulus, yang ikhlas.
Aku berjalan keluar dari kafe, membiarkan angin malam menyambutku. Ia hanya menatap punggungku sampai menghilang di tikungan jalan.
Malam telah larut. Di kamarku yang temaram, aku duduk di dekat jendela. Hujan kembali turun, pelan, seperti rintik yang tahu diri. Di tanganku, amplop dari tadi siang kini terbuka. Kertas di dalamnya sudah menguning, tanda bahwa surat itu telah lama menunggu.
Tanganku sedikit gemetar saat mulai membaca.
Kalau surat ini sampai ke tanganmu, berarti aku sudah berani.
Maaf karena dulu aku pergi tanpa kata.Tapi waktu itu, aku merasa kalah sebelum bertarung.Kamu akan menikah, dan aku pikir... mungkin itu takdirku mencintaimu dalam diam, membiarkanmu bahagia meski bukan denganku.
Aku menulis ini bukan untuk meminta kembali. Aku hanya ingin kamu tahu,bahwa ada seseorang di dunia ini yang mencintaimu dengan tenang, meski tanpa nama, tanpa status, tanpa hak.Jika suatu hari kita bertemu lagi, cukup tatap aku. Dan aku akan tahu, bahwa meski semesta tak berpihak, hati kita pernah saling mengenal.
Air mataku jatuh pelan. Tak meledak, tak meraung. Hanya mengalir seperti hujan yang tertahan di langit terlalu lama.
Aku menatap ke luar jendela, melihat bayangan diriku bercampur dengan pantulan lampu jalanan. Angin malam menyentuh pipiku, seolah menggantikan tangan yang tak sempat menyeka air mataku.
Surat itu kulipat kembali, kuselipkan di dalam buku harian yang sudah lama tak kubuka.
Bukan untuk dikenang, tapi untuk dikenali,bahwa ada cinta yang pernah hidup. Tak berteriak. Tak menuntut. Hanya ada... dalam diam.
Dan malam itu, aku tersenyum. Bukan karena bahagia. Tapi karena akhirnya, aku bisa mengikhlaskan.
Dalam diam. Yang tetap hangat.

0 Komentar