My Stories : Jangan Berbangga dengan Hubungan yang Terlihat Sempurna


Aku pernah percaya bahwa suatu hubungan adalah sesuatu yang luar biasa, begitu sempurna hingga aku sering menceritakannya kepada siapa pun yang mau mendengarkan. Kupikir kami adalah cerminan dari pasangan ideal: saling mendukung, tertawa bersama, dan tidak pernah bertengkar sama sekali, tidak pernah ada sedikitpun bentakan atau teriakan.

Dia selalu tahu caranya membuatku tersenyum. Setiap pagi dimulai dengan pesan penuh cinta, dan setiap malam diakhiri dengan doa untuk kami. Orang-orang sering mengatakan kami seperti pasangan dalam dongeng.

Namun, suatu hari, kenyataan mengetuk pintu kesadaranku dengan cara yang tak terduga. Aku menemukan sesuatu yang diluar dugaan dan tidak pernah aku bayangkan sedikitpun  akan terjadi dalam kehidupanku. Dan akan mengubah takdir kehidupanku.,

Aku terdiam. Bagaimana bisa sesuatu yang kupikir sempurna ternyata memiliki celah sebesar ini? Dan mengapa aku begitu sibuk memamerkan keindahan hubungan kami ke orang lain, tanpa benar-benar melihat apa yang terjadi di dalamnya?

Hari itu aku belajar, hubungan sempurna bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan, melainkan sesuatu yang harus terus diperjuangkan tanpa henti. So buat pengingat saja apapun yang kita miliki bahkan yang terlihat sempurna janganlah berbangga hati. Dan jangan pula melihat sesuatu seperti sebuah aib karena apapun yang terjadi dalam hidup kita, kita tidak akan pernah tahu.  Aku ingin sedikit berkisah bukan untuk membuka aib tapi sebagai pembelajaran.

 

Berawal Dari Persahabatan

Hubungan aku  berawal dari sebuah persahabatan yang sangat sederhana, namun penuh dengan cerita yang saling melengkapi. Aku pertama kali bertemu di lingkungan pertemanan yang sama, dan awalnya aku dan dia hanya saling mengenal sebagai teman biasa. Tak ada yang istimewa, hanya obrolan ringan yang terjadi setiap kali bertemu.

Namun, seiring berjalannya waktu,aku mulai lebih dekat. kami sering saling curhat, terutama tentang hubungan dengan pacar masing-masing. Masa itu belum ada hp jadi lebih banyak komunikasi dengan surat. Hampir setiap minggu dia mengirimkan surat dan aku membalasnya, hanya saling cerita tentang kegiatan sehari-hari atau hubungan dengan pacar masing-masing.  Hingga suatu dia berterus terang kalau dia ingin hubungan yang lebih dari sekedar teman.  Dia merasa jatuh cinta dari awal perkenalan, tetapi menyimpan rasa itu karena dia punya pacar dan dia merasa aku tidak memiliki perasaan yang sama.

Suatu hari, takdir seakan memainkan perannya. Aku dan pacarku waktu itu akhirnya memutuskan untuk Putus . Begitu juga dengan dia. Kami berdua merasakan kesedihan,  namun di saat yang sama, Kami merasa lega bisa keluar dari hubungan yang sudah tidak lagi memberi kebahagiaan. Kami saling menghibur, berusaha mengisi kekosongan yang ada dan semakin dekat. 

Keputusan untuk berpisah dengan pacar masing-masing ternyata menjadi titik awal yang tak terduga dalam hubunganku dengan dia.  Setelah beberapa waktu, aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Sampai suatu ketika dia bilang ingin mengenal dan lebih dekat dengaku. saat itu aku menyetujui tapi sebenarnya aku sendiri masih ragu aku hanya sekedaar rasa simpati atau aku  sayang. Aku coba untuk menjalaini hubungan itu. Aku dan dia mencoba saling mengenal lebih jauh, berbagi cerita, dan akhirnya  berdua sepakat untuk menjalin hubungan sebagai pacar. Meskipun aku menyadari bahwa hubungan ini akan berbeda, karena saat memutuskan untuk bersama aku dan dia harus menjalani hubungan jarak jauh. 

Jarak antara aku dan dia bukanlah hal yang mudah. Aku di Jakarta, sementara dia di Jepang. Namun,kami mencoba saling percaya bahwa hubungan ini bisa berjalan. Kami terus menjaga komunikasi, dia selalu melungkan waktu  menghabiskan waktu berjam-jam di telepon kala itu telpon masih sangat mahal, jadi aku selalu menunggu dia yang menghubungi. 1 kartu biasanya untuk mengobrol selama satu jam dan dia biasanya menghabiskan 2 kartu setiap harinya demi menjaga komunikasi,   saling berbagi mimpi dan harapan, serta mendukung satu sama lain meskipun terpisah ribuan kilometer. Aku merasa bahwa hubunganku saat itu cukup baik dan lancar, dia tipe cowok yang perhatian sayang dan bucin sih... bayangin ya.. dia pulang kerja jam 11 malam waktu jepang masih menyempatkan telpon aku minimal 1 jam setiap hari. Dia rela mengurangi uang makan dan jajan dia demi untuk beli kartu telpon. Kadang saat weekeend aku dan dia ngobrol melalui internet yahoo massager dan aku harus effort ke warnet. lucu sih kalua ingat saat itu. Aku tipe yang sedikit cuek, sebenarnya kurang suka aja tiap hari harus telpon atau setiap saat harus update aku sedang apa atau dimana. buang-buang waktu. tapi ya begitulah.

 

Dua Karakter Yang Berbeda

Pada akhirnya, setelah bertahun-tahun menunggu, kami menikah, dan seakan itu adalah akhir dari perjalanan panjang kami yang penuh tantangan. Sebelum akhirnya kami menikah, ada masa-masa penuh keraguan yang sempat melanda hatiku. Kami telah berpacaran selama bertahun-tahun, dan meskipun hubungan kami jarak jauh, kami merasa yakin bahwa kami bisa menghadapinya. Tetapi, tiba-tiba rasa ragu itu datang. Aku tidak tahu dari mana datangnya, tapi aku merasa cemas tentang masa depan kami.

Tiga bulan sebelum hari pernikahan yang telah direncanakan, aku memutuskan untuk membatalkan semuanya. Aku merasa tidak siap, takut jika pernikahan kami tidak akan berhasil. Aku merasa ada banyak hal yang belum aku capai dalam hidup, dan aku khawatir jika aku menikah, aku akan kehilangan kesempatan untuk mengejar impian-impian itu.

Aku menjelaskan perasaanku kepada dia , yang saat itu dia sangat terkejut dan bingung. Dia tidak mengerti, karena kami sudah melewati banyak hal bersama dan dia yakin kami adalah pasangan yang tepat. Namun, aku merasa takut bahwa aku akan terjebak dalam peran yang berbeda, dan aku tidak yakin apakah aku siap menjadi istri.

Setelah tiga bulan penuh dengan kebingunganku, aku akhirnya menyadari bahwa rasa takut itu hanya bagian dari diriku yang belum sepenuhnya siap menerima komitmen. Kami berbicara lagi, dan kali ini dengan lebih tenang. Dia memberi aku waktu untuk merenung, dan akhirnya aku sadar bahwa perasaan ragu itu hanya sementara. Kami memutuskan untuk melanjutkan rencana pernikahan kami.

Meskipun ada keraguan yang sempat mengganggu, karena sampai hari pernikahan tiba aku tidak pernah tahu bagaimana perasaanku sebenarnya terhadapnya. Aku terbuka ke dia mengenai perasaanku ini  dan dia menerima dia meyakinkanbahwa  kami bisa bersama-sama menghadapinya. Kami menikah pada tahun yang sama, dan meskipun ada banyak tantangan di depan kami, aku merasa itu adalah langkah yang benar.

 

Pernikahan kami dimulai dengan penuh optimisme. Kami memiliki banyak impian untuk masa depan, dan kami merasa tak ada yang bisa memisahkan kami. Setelah menikah, meski jarak masih memisahkan kami. Menjalin hubungan LDR juga sangat tidak mudah apalgi setelah menikah. Dia selalu tugas keluar kota minimal sebulan diluar dan seminggu dirumah. Dan untuk hombase kerja dia di Bandung, aku di Depok kami tetap merasa dekat. Setiap minggu, kami berusaha meluangkan waktu untuk bertemu, walaupun terkadang hanya untuk beberapa hari, dan itu sudah cukup membuat kami bahagia.

Aku selalu mengagumi sifatnya yang sangat perhatian, yang selalu tahu bagaimana cara membuatku merasa dihargai. Dia adalah tipe pria family man yang tidak pernah mengeluh. Setiap kali aku pulang dari pekerjaan yang melelahkan, dia selalu menyiapkan makanan atau membantu mengerjakan semua pekerjaan rumah, menjaga anak dan melakukan semua hal yang biasa aku lakukan saat dia diluar kota. Semua orang yang mengenal kami sering mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang sempurna, contoh ideal dari sebuah keluarga.

Aku, di sisi lain, adalah wanita karir yang ambisius. Pekerjaan menjadi fokus utama dalam hidupku. Aku bekerja keras untuk membangun karir, dan meskipun aku tahu keluarga adalah prioritas, aku seringkali terjebak dalam rutinitas kantor yang padat. Aku keras kepala, selalu mengejar impian dan ambisiku, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu untuk keluargaku.

Namun, meskipun kami sering terpisah karena pekerjaan dan jarak, hubungan kami tetap harmonis. Aku merasa bangga memiliki suami yang sangat mendukung. Dia selalu mengingatkan aku untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga, meskipun aku jarang mendengarkan nasihatnya. Bagiku, karir adalah segalanya, dan aku merasa bisa menjalani semuanya dengan baik hingga akhirnya segalanya berubah.

 

Kehidupan yang Tampak Sempurna

Tahun demi tahun berlalu, dan rumah tangga kami tampaknya semakin kuat. Arus kehidupan yang berjalan membuat aku merasa nyaman dan tak pernah mempertanyakan apa pun. Meskipun kami hidup terpisah oleh jarak, aku tahu dia selalu ada untukku. Kami memiliki rumah yang baik, pekerjaan yang stabil, dan keluarga yang harmonis.

Kami telah melewati banyak hal bersama baik suka maupun duka dari hal yang paling sepele  seperti  perayaan ulang tahun hingga menghadapi tantangan hidup, dan kami selalu saling mendukung. Aku merasa bahwa kami adalah pasangan yang saling melengkapi, seperti puzzle yang sudah sempurna.

Anak kami tumbuh dengan baik, dan meskipun aku kadang merasa bersalah karena waktu yang sedikit untuknya, aku selalu berusaha memberi yang terbaik. Kami berdua sepakat bahwa keluarga adalah segalanya. Dia selalu mengingatkan aku untuk tidak sering membawa pekerjaan kerumah,  lebih memperhatikan dan menghabiskan waktu Bersama, ya mungkin ini awal sebuah kesalahanku.

Hubunganku dan dia masih sangat baik meskipun lebih sering berpisah karena pekerjaan. Kami sibuk dengan rutinitas kami masing-masing.  Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan ada jarak antara kami yang tidak bisa aku jelaskan. Aku semakin lama semakin merasa kami bagaikan orang asing yang hidup Bersama. Saat berkumpul kami bagaikan pasangan harmonis dan ideal tapi perasaan seperti orang asing dan aku tidak dapat menjelaskan kenapa. Aku seperti merasa sendiri dan terjadi bertahun-tahun sejak kelahiran anakku. Perasaanku terhadapnya terasa hampa dan kosong, Aku merasa tidak seimbang dan tidak nyambung dalam semua hal, aku merasa tidak punya partner yang bisa diajak diskusi apapun. bener-bener merasa memiliki pasangan tetapi tidak ada yang bisa aku ajak bicara. saat bersamapun hanya bicara seperlunya, aku merasa tidak lagi sefrekuensi, obrolan menjadi hambar tidak ada yang menarik aku merasa berjuang sendiri. semakin hari hubungan ini terasa semakin tidak ada makna dan artinya Komunikasi menjadi dingin, hanya sekadar kewajiban. Entah di mana letak kesalahannya, tapi perlahan jarak ini tumbuh dan membentang, menciptakan kekosongan yang sulit dijembatani. 

Perjuangan untuk Memiliki Anak

Setelah menikah, kami memulai kehidupan bersama, namun ada satu hal yang sangat kami impikan memiliki anak. Kami berdua sangat ingin menjadi orang tua, tetapi ternyata jalan untuk mewujudkan impian itu tidak mudah. Kami mencoba berbagai cara, tetapi berbulan-bulan berlalu dan aku mulai merasa frustasi. Ada banyak percakapan panjang antara kami, banyak kali aku merasa bersalah dan bertanya-tanya apakah aku bisa menjadi ibu yang baik.

Kami mulai mencoba ke dokter ikut program kehamilan.  Kami menjalani berbagai pemeriksaan, mengubah gaya hidup, dan mencoba berbagai macam pengobatan dan terapi.  Tidak hanya memalui medis tapi juga tradisional dengan pijat dll. Namun, meskipun segala usaha telah kami lakukan, kehamilan itu tak kunjung datang. Dia selalu di sisiku, mendukungku, tapi aku bisa merasakan betapa beratnya perjuangan kami berdua. Aku tidak ingin menyerah, tetapi setiap bulan yang berlalu semakin menambah rasa putus asa dalam hati kami.

Namun, pada akhirnya, Tuhan mendengar doa-doa kami. Pada tahun 2007, setelah bertahun-tahun berjuang, anak pertamaku lahir. Saat aku memandang wajahnya yang pertama kali terbuka di dunia, aku merasa seperti semua perjuangan itu terbayar lunas. Rasanya seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Aku dan dia sangat bersyukur, kami merasa hidup kami sempurna dengan hadirnya anak perempuan yang sangat kami cintai.

Namun, meskipun kami memiliki anak yang sangat kami impikan, hubungan kami mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan. Kehamilan dan kelahiran anak perempuan memang membawa kebahagiaan yang luar biasa, tetapi di sisi lain, hidup sebagai orang tua ternyata membawa tantangan tersendiri. Tanggung jawab yang besar, kelelahan fisik, dan perbedaan cara pandang kami mulai mempengaruhi hubungan kami. Pekerjaanku semakin menyita waktu, dan dia, meskipun sangat perhatian, mulai merasa bahwa aku semakin sibuk dan terasingkan. Kami jarang berbicara tentang perasaan kami, dan aku lebih sering terjebak dalam rutinitas harian. Dia sibuk dengan pekerjaannya apalagi pekerjaan dia lebih banyak di luar kota. LDR tetap kami jalani hingga bertahun-tahun. 

Hingga akhirnya, kejadiannya datang tanpa peringatan. Ternyata, dia yang dulu sangat perhatian dan setia, terjerat dalam hubungan yang tidak seharusnya. Perselingkuhan yang tidak pernah aku duga, yang membuat aku merasa hancur seketika.

 

Badai Menghantam

Badai pertama menghantam rumah tanggaku saat aku mengetahui bahwa dia menjalin hubungan dengan teman kantornya. Awalnya, aku hanya sering mendengar dia sering sekali menceritakan tentang Perempuan ini. Namun, naluriku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Malam itu, aku mengumpulkan keberanian untuk memeriksa ponselnya, dan semuanya terbongkar. Pesan-pesan mesra, janji-janji manis, dan bahkan foto-foto mereka berdua sedang disetiap ada acara dikantornya.

Aku mencoba berbicara dengannya. Dengan suara gemetar, aku menanyakan semua yang kulihat. Awalnya, dia mengelak  bahkan dia bersumpah diatas Al Quran bahwa dia menganggap perempuan itu seperti adiknya. Dia mengatakan bahwa aku salah paham, bahwa itu hanya urusan pekerjaan. Bahkan sampai suatu ketika dia undang perempuan itu kerumah supaya aku mengenalnya dan bisa menjadi sahabat. Namun, saat aku menunjukkan bukti-bukti yang tak terbantahkan, dia akhirnya mengakui. "Aku khilaf," katanya dengan nada yang nyaris tanpa penyesalan. Katanya, hubungan mereka tidak serius, hanya pelarian dari tekanan kerja. Tetapi bagaimana aku bisa mempercayai itu? Rasa sakit dan pengkhianatan itu terlalu nyata.

Aku berusaha memaafkannya demi keluarga kami, demi anak yang masih butuh perhatian  butuh kasih sayang dari kedua orangtuannya. Kami mencoba memperbaiki semuanya, atau setidaknya aku yang mencoba. Dia berjanji akan berubah, akan menjadi pasangan dan ayah yang lebih baik. Namun, kenyataan berkata lain. Tak lama setelah itu, aku mendengar kabar lain. Kali ini tentang hubungannya dengan seorang wanita di tempat pijat plus-plus dan teman SMPnya. Dalam satu waktu dioa menjalin hubungan dengan dua wanita sekaligus.Semua terbuka saaat dia dari luar kota dan aku mengingatkan dia itu mengunjungi orangtuanya, minimal memberikan perhatian ke bapak dan ibunya, apalagi rumah kami dekat. Sengaja aku meminta padanya untuk mengundang bapak, ibu dan adiknya makan malam bersama. Dan saat makan bersama dia lebih sibuk dengan Hpnya dibandingkan ngobrol dengan kami atau kedua orangtuanya.  Naluriku mengatakan ada sesuatu. Setelah kembali kerumah aku cek dan ternyata benar dia sedang menjalin hubungan dengan dua wanita sekaligus  teman SMPNya dan wanita tukang dipijat plus-plus. malam itu aku coba konfirmasi.  Bahkan aku coba telpon ke wanita teman SMPnya. Aku bilang ke perempuan itu jika tidak menghentikan keluarga dia taruhannya.  Perempuan itu sudah menikah dan jika dilihat dari postingan difacebooknya keluarganya masih terliha baik-baik daja. Postingan mesra dengan suami dan anak-anaknya. dan akhirnya dia berjanji lagi menhentikan hubungan dengan teman SMPnya dan wanita pijat. Memblokir kedua no wanita tersebut. Aku merasa seperti ditampar berkali-kali oleh kenyataan pahit yang tak berkesudahan.

Puncak kehancuran rumah tanggaku terjadi saat aku memutuskan untuk menyusulnya ke kota tempat kerjanya. Aku berharap bisa menemukannya dan berbicara langsung. Aku mendatangi kantornya dengan harapan dia ada di sana, tetapi kenyataan berkata lain. Dia tidak ada di tempat, dan tidak ada yang tahu keberadaannya. Malam harinya, aku mencoba meneleponnya. Ketika panggilanku akhirnya dijawab, aku mendengar suara perempuan di latar belakang berteriak, "Katanya cerai!" Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku mencoba mengonfrontasinya lagi, dengan menelponnya. Tapi tidak diangkat justru yang paling mengejutkan seorang perempuan mengirim foto-foto pernikahan ke Grup keluarga. Pagi harinya perempaun itu telpon dan tanpa tahu malu menjelaskan hubungan mereka bahwa mereka sudah menikah.Aku kesulitan untuk menghubungi dia.

Sejak saat itu, dia benar-benar menghilang tanpa jejak, meninggalkan aku dan anakku, juga orang tuanya yang sudah tua serta saudara-saudaranya.

Aku kembali ke kantornya beberapa bulan kemudian untuk mencari kejelasan. Pihak kantor menunjukkan itikad baik untuk membantu, tetapi akhirnya mereka memberitahuku bahwa dia sudah dipecat. Rupanya, dia memilih pergi bersama perempuan itu. Aku merasa seperti dihantam gelombang yang lebih besar dari sebelumnya. Tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki apa yang hancur.

Aku merasa sangat bingung, terjebak antara rasa marah, kecewa, dan bingung. Dia yang selama ini aku anggap sebagai panutan, yang selalu memberi cinta dan perhatian tanpa batas, ternyata telah memilih untuk mengkhianatiku. Semua perjuangan kami untuk memiliki anak, semua kenangan indah bersama putri kami, seakan tak berarti lagi. Kepercayaan yang aku bangun selama bertahun-tahun, hilang begitu saja. Aku merasa seperti hidupku dihancurkan dalam sekejap. Perasaan marah, kecewa, dan bingung bercampur aduk. Aku bertanya-tanya apakah semua ini terjadi karena kesalahan kami yang tak pernah mengungkapkan perasaan kami satu sama lain. Apakah kami sudah terlalu sibuk dengan diri kami sendiri, hingga melupakan apa yang benar-benar penting

 

Keputusan

Keputusan untuk bercerai bukanlah keputusan yang mudah. Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Bagaimana aku bisa memberitahukan putri kami? Apa yang akan terjadi pada kami setelah ini? Kami sudah lama bersama, sudah berjuang bersama, namun ternyata jalan yang kami pilih bukanlah yang terbaik.

Aku mengajukan gugatan cerai melalui jalur ghoib di Pengadilan Agama. Aku merasa ini adalah langkah yang terbaik, untuk menghindari pertikaian yang lebih panjang dan memberi aku waktu untuk sembuh. Aku ingin fokus pada diriku sendiri, pada putri kami, dan untuk membangun hidup yang baru, meskipun aku merasa sangat terluka.

Hari-hari setelah itu penuh dengan pergolakan emosi. Aku merasa seperti berada di tengah badai yang tidak pernah aku duga. Namun, aku tahu aku harus bangkit dan terus maju. Meskipun kehidupan rumah tanggaku berakhir, aku memiliki anak perempuan yang sangat berharga, dan itu yang akan terus memberiku kekuatan.

Hidup Baru yang Dimulai

Hari-hari berlalu, dan meskipun terasa berat, aku perlahan belajar untuk menerima kenyataan. Aku sadar bahwa hidupku tidak akan pernah sama lagi, namun aku tidak bisa membiarkan diriku terpuruk. Anakku membutuhkan ibu yang kuat, dan aku berjanji untuk memberinya cinta dan perhatian yang dia butuhkan.

Karir tetap menjadi fokus hidupku, tetapi kini aku mulai menyeimbangkannya dengan waktu untuk anakku. Aku belajar untuk tidak hanya mengejar impian pribadi, tetapi juga untuk menciptakan keluarga yang penuh kasih sayang meskipun dalam keadaan yang berbeda.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku tahu satu hal aku telah melalui banyak ujian dalam hidup ini, dan aku akan terus bertahan. Hidup memang penuh dengan ujian, tetapi aku yakin bahwa setiap tantangan adalah bagian dari perjalanan yang menguatkan. Keputusan untuk melanjutkan hidup sendiri adalah hal yang paling berat, tetapi aku tahu itu adalah langkah terbaik untuk diriku sendiri dan masa depan anakku.

Kami mungkin pernah menjadi pasangan yang sempurna di mata orang lain, tetapi aku percaya bahwa setiap perjalanan, bahkan yang berakhir dengan luka, membawa kita pada kehidupan yang lebih berarti. Dan untuk itu, aku berterima kasih kepada hidup yang terus memberiku kesempatan untuk tumbuh, meskipun dalam keterpurukan.

 

Trauma yang Tertinggal

Kehancuran rumah tanggaku yang tiba-tiba meninggalkan bekas yang dalam. Bukan hanya rasa sakit karena pengkhianatannya, tetapi juga ketidakpastian tentang alasan sebenarnya dia pergi. Tidak ada penutupan, tidak ada kata-kata maaf, hanya keheningan yang mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Semua yang kami bangun terasa seperti ilusi yang tiba-tiba menghilang begitu saja.

Trauma itu tidak hanya mengganggu perasaanku, tetapi juga membentuk cara aku memandang dunia. Setiap kali aku memikirkan hubungan, pernikahan, atau bahkan kepercayaan, aku merasa takut. Takut jika aku akan kembali dikhianati, takut jika aku akan jatuh pada kebohongan yang sama. Perasaan tidak aman itu menghantuiku dalam setiap langkah hidupku.

Aku sering terbangun di tengah malam, terbayang wajahnya yang dulu penuh cinta, yang kini seolah menjadi asing. Kenapa dia pergi tanpa penjelasan? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak pernah mendapatkan jawaban yang jelas. Dan itu adalah bagian yang paling sulit untuk diterima ketidakjelasan yang meninggalkan luka mendalam.

Kepercayaan yang selama ini aku bangun dengan susah payah, hancur begitu saja. Aku menjadi ragu, tidak hanya pada orang lain, tetapi juga pada diriku sendiri. Mengapa aku bisa begitu buta terhadap perubahan yang terjadi dalam hubungan kami? Mengapa aku tidak menyadari lebih awal bahwa ada sesuatu yang salah?

 

Mencari Pemulihan

Trauma yang kuterima akibat kepergian tanpa penjelasan yang jelas tak bisa begitu saja hilang. Aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang, seakan kepercayaan dan cinta yang pernah aku miliki telah terampas. Hari-hari berlalu, dan meskipun aku terus berusaha menjalani hidup, luka itu tetap membekas.

Namun, aku tidak bisa terus terpuruk. Anakku membutuhkan ibu yang kuat, dan aku berusaha untuk menyingkirkan rasa sakit ini. Aku mencoba berbicara dengan teman-teman terdekat, mencari dukungan yang aku butuhkan. Aku mulai belajar ilmu agama ikut kajian kebeberapa tempat untuk membantu mengatasi trauma ini. Itu adalah langkah pertama untuk bisa bangkit, meskipun aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah.

Aku belajar untuk perlahan menerima kenyataan bahwa beberapa pertanyaan dalam hidupku mungkin tidak akan pernah terjawab. Aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu, walaupun perasaan itu tak kunjung hilang. Aku harus belajar untuk menerima ketidakpastian, karena hidup tidak selalu memberi jawaban yang kita harapkan.

Anakku menjadi sumber kekuatan yang besar. Setiap senyum dan canda tawa darinya membuat aku merasa bahwa aku harus terus maju. Aku tahu aku tak bisa membiarkan masa lalu menghalangi masa depanku, apalagi masa depan anakku. Aku bertekad untuk menjadi ibu yang lebih baik, yang lebih kuat, meskipun rasa trauma itu tetap ada.

 

Belajar untuk Melepaskan

Melepaskan adalah hal yang paling sulit untuk kulakukan. Melepaskan perasaan, melepaskan kenangan, melepaskan seseorang yang dulu aku percayai sepenuhnya. Tetapi aku tahu bahwa untuk bisa melanjutkan hidup, aku harus melepaskan segala yang mengikatku pada masa lalu. Meskipun itu adalah proses yang panjang dan penuh dengan kesedihan, aku perlahan belajar untuk melepaskan.

Aku sadar, meskipun aku tak pernah mendapatkan penjelasan yang layak, hidup harus terus berjalan. Setiap hari aku berusaha untuk memaafkan, bukan untuknya, tetapi untuk diriku sendiri. Memaafkan bukan berarti melupakan, tetapi memberi ruang untuk diriku sendiri untuk tumbuh dan sembuh.

Trauma yang ditinggalkannya bukanlah sesuatu yang bisa hilang dalam semalam. Tetapi aku percaya, dengan waktu dan usaha, aku akan bisa sembuh. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku tahu bahwa aku akan terus berjuang. Untuk aku, untuk anakku, dan untuk masa depan yang lebih baik.

Kepergiannya tanpa penjelasan mungkin akan tetap menjadi luka yang tak mudah sembuh, tetapi aku percaya bahwa aku lebih kuat dari trauma itu. Setiap hari adalah langkah kecil menuju penyembuhan, dan aku akan terus melangkah maju.

 

Catatan : Jangan pernah memandang kehidupan orang lain buruk karena kegagalannya  karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita selanjutnya sesuatu yang nampak sempurna dan indah bisa jadi itu menjadi sumber kesakitan kita.



Posting Komentar

0 Komentar