Aku Dalam Diam

 

Harapan di Tengah Diamku
Cerpen oleh: Aku

Langit kelabu tadi akhirnya menangis. Rintik hujan turun pelan di atas genting tua, menciptakan simfoni lembut yang menenangkan. Aku tidak beranjak dari bangku itu, membiarkan ujung jaketku basah. Rasanya lebih jujur dibanding semua tawa palsu yang sering kupamerkan di depan orang lain.

Aku pernah merasa dunia ini terlalu gaduh untuk jiwa yang halus seperti milikku. Dalam kebisingan rutinitas, aku mencari ruang di mana aku bisa sekadar menjadi diriku sendiri, tanpa topeng, tanpa pretensi. Diam adalah rumah yang kupilih ketika kata-kata tak lagi mampu menjelaskan isi hati.

Ada hari-hari ketika aku bangun hanya karena kewajiban. Bukan semangat, bukan juga cinta pada hidup. Tapi ada sesuatu dalam diri ini,entah apa namanya, yang terus mendorongku untuk tetap berjalan. Mungkin itu yang orang sebut harapan, meski bagiku bentuknya samar dan abstrak.

Di mejaku, masih tergantung catatan-catatan kecil dengan tulisan tangan sendiri. Satu di antaranya berbunyi, “Bertahan hari ini, esok mungkin akan ada pelangi.” Aku menulisnya tahun lalu, saat merasa hidup tak lagi adil. Aneh, betapa kata-kata dari masa lalu bisa menjadi jangkar di hari-hari ini.

Kadang aku iri pada mereka yang begitu mudah bercerita, menangis di bahu orang lain, atau tertawa lepas saat hati mereka sedang perih. Aku tidak begitu. Tangisku selalu kutelan sendiri, dan luka-lukaku hanya kusampaikan pada malam. Tapi justru dari situ aku belajar: tidak semua rasa harus dikeluhkan untuk bisa sembuh.

Aku sering berjalan kaki tanpa tujuan. Mengikuti trotoar kosong, mendengarkan langkah-langkahku sendiri. Di tengah kota yang padat dan tidak pernah benar-benar tidur, aku merasa menjadi satu-satunya orang yang terjaga karena perasaan, bukan karena pekerjaan. Kadang aku berharap seseorang akan menghampiri dan bertanya, “Kau baik-baik saja?” Tapi tidak ada yang pernah benar-benar peduli pada wajah yang terlihat tenang.

Suatu sore aku menemukan bunga liar tumbuh di celah tembok retak. Entah kenapa itu membuatku terdiam lama. Aku memotretnya dan memberinya nama: Keteguhan. Ada semacam keindahan dalam keberaniannya tumbuh di tempat yang keras. Seperti aku, pikirku waktu itu. Berusaha tetap hidup meski tak ada yang menyirami.

Hari-hariku dipenuhi rutinitas yang sama: bangun, menatap langit-langit, membuat kopi, membaca satu paragraf buku, lalu menatap kosong ke jendela. Tapi dalam keheningan itu, aku mulai mendengar suara hatiku sendiri. Ia tak keras, bahkan nyaris seperti bisikan. Tapi cukup untuk membuatku merasa belum sepenuhnya hilang.

Aku tahu aku tidak istimewa. Aku bukan tokoh utama dalam kisah siapa pun. Tapi aku ingin percaya bahwa keberadaanku bukan kebetulan. Mungkin aku belum menemukan peranku dalam cerita besar kehidupan ini. Tapi bukan berarti aku tak punya nilai. Dan dalam diam ini, aku mencarinya, perlahan-lahan.

Kadang malam begitu panjang. Aku menulis, menggambar, atau sekadar memandangi layar kosong. Tak ada yang ingin kutuangkan, tapi aku merasa harus tetap mengalirkan sesuatu. Seolah kalau aku berhenti, aku akan kehilangan diriku sendiri. Maka aku terus bergerak, walau perlahan. Walau hanya di dalam hati.

Aku ingat pernah berdiri lama di depan cermin, mencoba menatap mataku sendiri. Rasanya aneh. Aku seperti melihat orang asing yang berusaha keras tampak biasa-biasa saja. Tapi di balik pupil itu, ada dunia yang penuh badai. Dan entah bagaimana, aku tetap mampu menatap balik tanpa runtuh.

Aku mencintai hujan bukan karena romantisme. Tapi karena hujan tahu cara menyembunyikan air mata. Ia membasahi semua orang tanpa membeda-bedakan. Dalam derasnya, aku bisa berjalan tanpa harus menjelaskan kenapa mataku merah atau kenapa bibirku bergetar. Hujan itu teman terbaik bagi hati yang tak mau bicara.

Pernah suatu pagi, aku terbangun dengan jantung berdebar tanpa alasan. Seperti ada sesuatu yang besar akan terjadi, padahal tidak ada apa-apa. Mungkin itu alarm dari dalam tubuhku yang ingin mengingatkan: aku masih hidup. Aku masih punya detak. Dan setiap detak adalah kesempatan untuk bangkit, walau hanya sedikit.

Aku tidak menuntut banyak dari hidup. Aku hanya ingin bisa merasa damai saat menutup mata. Tidak dengan rasa bersalah, atau kecewa, atau ketakutan. Damai saja. Karena selama ini, terlalu sering aku menyalahkan diri sendiri atas hal-hal yang tak bisa kukendalikan. Padahal seharusnya aku bisa lebih memaafkan diri sendiri.

Ada surat yang tak pernah kukirim. Kertasnya sudah kuning, lipatannya mulai rapuh. Isinya hanya satu kalimat: “Aku sedang belajar mempercayai hidup.” Kutulis itu di malam tergelapku. Entah kenapa, sekarang aku bersyukur aku tidak menyerah saat itu. Kalau tidak, aku tak akan pernah tahu bahwa aku bisa sejauh ini.

Aku tidak lagi mencari seseorang yang bisa menyelamatkanku. Aku hanya ingin belajar menyelamatkan diriku sendiri. Karena satu-satunya orang yang akan selalu bersamaku adalah aku. Jadi, aku ingin menjadi seseorang yang bisa kupeluk saat semua orang pergi. Aku ingin menjadi rumah bagi diriku sendiri.

Mimpi-mimpi kecil mulai tumbuh lagi. Bukan yang muluk-muluk. Hanya harapan sederhana: bisa tertawa tanpa beban, bisa menikmati senja tanpa rasa takut akan hari esok, bisa mendengar lagu lama tanpa menangis. Mimpi yang dulu terasa mustahil, kini mulai tampak mungkin, seiring aku mengizinkan diri sendiri untuk berharap.

Aku menyukai senja bukan karena warnanya yang indah, tapi karena ia mengajarkan perpisahan yang tenang. Tak ada tangisan, hanya transisi perlahan dari terang ke gelap. Seperti cara hidup mengajarkan kita menerima kenyataan. Dan seperti senja, aku ingin bisa melepas semuanya dengan lapang.

Kini, jika aku diam, itu bukan karena aku lelah. Tapi karena aku sedang mendengar suara dunia dalam bentuk yang lebih halus. Aku mendengar desir daun, detak waktu, bahkan nafas sendiri. Diam bukan kelemahan. Diam adalah kekuatan yang sedang merawat luka.

Dan kalau hari ini aku masih memilih untuk tetap berdiri, itu karena jauh di dalam diriku, ada cahaya kecil yang menolak padam. Cahaya itu tidak menyala terang. Tapi cukup untuk menuntunku menulis satu paragraf lagi, berjalan satu langkah lagi, dan berharap satu kali lagi.


Hari-hari berlalu dengan pelan, tapi pasti. Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu terlewat. Aroma kopi dipagi hari yang kuseduh, setiap pagi, suara pengajian dari masjid di ujung kompleks, atau suara ayam tetangga yang tak pernah bosan berkokok. Semua itu menjadi pengingat bahwa hidup, betapa pun senyapnya, masih tetap berjalan.

Di tengah rutinitas yang berulang, aku mulai menulis jurnal harian. Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untukku. Di sana, kutuangkan perasaan yang tak pernah sempat terucap, rasa marah yang kupendam, juga kelegaan-kelegaan kecil yang mulai berani kuterima. Ternyata, mengenali perasaan sendiri itu tidak mudah, tapi menyembuhkan.

Setiap pagi, aku menulis satu kalimat pengingat di kertas kecil dan menempelnya di pintu lemariku yang mulai usang. Hari ini tertulis, “Kamu tidak perlu terburu-buru sembuh. Tapi teruslah bertumbuh.” Kalimat itu kutemukan dalam buku lama, dan entah kenapa terasa seperti ditujukan langsung padaku.

Aku mulai berani membuka jendela sedikit lebih lama. Menyambut cahaya yang dulu sengaja kuhindari. Aku pernah takut melihat terang karena mengingatkanku pada hal-hal yang hilang. Tapi kini, aku ingin mencoba berdamai. Aku ingin mengenal cahaya itu kembali, meski pelan-pelan, meski dengan langkah yang gemetar.

Pernah, suatu malam aku bangun karena mimpi yang terasa sangat nyata. Dalam mimpi itu, aku berdiri di tepi jurang, tapi angin di sekitarku tenang. Aku tidak jatuh, tidak juga melangkah. Aku hanya diam di sana. Aneh, tapi mimpi itu membuatku sadar, selama ini aku tidak benar-benar ingin jatuh, aku hanya ingin dimengerti.

Malam berikutnya aku bermimpi ditepi pantai, ombak datang menerjang. Saat itu bermimpi rasa takut, khawatir  gelisah  dan membuat dada terasa sesak dalam hati aku berbisik akankah aku berakhir dalam gulungan ombak pantai yang dasyat. Ternyata saat ombak menerjang aku tetap berdiri ditepi pantai tidak terhanyut bersama ombak.  Ini makin menguatkanku bahwa aku tidak ingin hilang atau hanyut dari kehidupaku yang nyata.  Mimpi yang sangat aneh bukan??... 

Musim berganti. Dari hujahb ke panas, dari panas ke hujan. Setiap perubahan musim seperti lembaran baru yang menanti untuk diisi. Aku belajar menyambut perubahan, meski tidak selalu siap. Karena pada akhirnya, hidup tidak menunggu kesiapan kita. Ia berjalan terus. Dan satu-satunya pilihan adalah ikut berjalan.

Aku mencoba mengenang tanpa luka. Melihat kembali foto-foto lama yang dulu terlalu menyakitkan untuk kulihat. Senyum-senyum yang pernah kubenci karena mengingatkan pada kehilangan, kini kulihat dengan rasa syukur. Setidaknya, aku pernah bahagia. Dan jika pernah, itu berarti aku bisa lagi.

Ada satu pagi ketika aku merasa semuanya baik-baik saja. Tidak ada beban berat, tidak ada perasaan tenggelam. Hanya rasa tenang yang sulit dijelaskan. Aku menyeduh secangkir kopi hitam, duduk di rumput belakang rumah sengaja ingin merasakan dinginnya embun dan sisa hujan semalam, membiarkan matahari pagi menyentuh wajahku. Mungkin itu yang disebut momen damai. Singkat, tapi cukup.

Aku kembali membaca buku yang pernah kutinggalkan di halaman ke-53. Dulu aku berhenti karena tak sanggup membaca bagian yang terlalu menyayat. Tapi kini, aku bisa melanjutkan. Setiap kalimat seperti menyembuhkan luka-luka kecil yang dulu kupikir takkan pernah kering.

Kadang aku ingin berbagi semua ini pada seseorang. Tapi belum ada yang cukup siap untuk mendengar tanpa ingin memperbaiki. Aku tak butuh solusi. Aku hanya butuh tempat untuk menjadi apa adanya. Dan sampai tempat itu kutemukan, aku akan terus menulis. Karena tulisan tak pernah menilai, hanya menerima.

Malam-malamku kini lebih sunyi, tapi bukan karena kesepian. Sunyi yang kini kurasakan adalah ruang. Ruang untuk mengenal diri, untuk mengurai luka, untuk memahami mengapa aku merasa seperti ini. Sunyi itu seperti pelukan yang hangat, bukan jeruji yang mengikat. Saat yang paling tepat mebikmati setiap kesunyian adalah jam 1 malam. Ketika mungkin sebagian besar orang tertidur lelap dengan mimpinya. Aku bangun. Kuambil air wudhu. Aku mulai berbicara  dengan sang khalik,mengadu dan bercerita kepada pemilik semesta. Aku tumpahkan rasa hatiku kadang air mataku  keluar bagaikan anak sungai yang mengalir deras, tanpa dapat kucegah. Bukan karena aku lemah taoi justru semakin menguatkan dan membuat aku tenang. Ya mungkin itu cara semesta membantu aku sembuh.  Sembuh dengan memeluk lukaku sendiri. 

Kadang aku berbicara dengan cermin. Bukan karena gila, tapi karena aku ingin mengingatkan diri bahwa aku nyata. Bahwa aku masih di sini. Aku menyapa diriku sendiri dengan kalimat lembut yang dulu tak pernah kuberikan. “Terima kasih sudah bertahan.” Kalimat itu terasa sederhana, tapi menyelamatkanku berkali-kali. Kadang juga ditengah aku berdoa aku mohon izin ke pemilik kehidupan mengirimkan doa Al-Fatihah untuk diriku sendiri,  sambil memeluk dan merasakan setiap debaran jantungku.  Dan aku kembali berbisik lirih menyapa diriku sendiri "Terima kasih Win sudah berjalan sampai sejauh ini, tidak menyerah walaupun berulamg kali terjatuh, maafkan semua yang pernah terjadi, kamu pasti bisa, besyukur dan terus bersyukur" Memaafkan diri bukan tentang melupakan, tapi menerima bahwa aku juga manusia

Aku mencoba kembali ke tempat-tempat yang dulu kuhindari. Kafe tempat aku pernah menangis, taman tempat aku pernah duduk sendirian menunggu kabar yang tak pernah datang, jembatan yang pernah membuatku ingin berhenti hidup. Kini, aku berjalan melewati semuanya, bukan untuk mengulang, tapi untuk mengalahkan. Walaupun terkadang masih ada rasa yang tidak dapat aku lukiskan bahkan kadang masih membuat debar jantungku berpacu lebih cepat, aku tahu imi bukan tentang perasaan yang tidak pernah hilang tapi aku sadar masih ada kemarahan, kebencian dan luka  yang benar-benar hilamg atau pulih.  Dengan aku kembali aku akan membiasakan dan berdamai dengan diriku sendiri. 

Bukan berarti semuanya telah membaik. Aku masih belajar. Masih ada malam-malam gelisah, pagi-pagi penuh pertanyaan. Tapi bedanya sekarang, aku tak lagi melawannya. Aku biarkan semua rasa datang dan pergi. Seperti ombak yang mencium pasir. Aku tak lagi takut, karena aku tahu aku bisa tetap berdiri. Aku akan tetap hidup dan aku akan tetap berjalan sampai di akhir hidupku. 

Aku menemukan keindahan dalam hal-hal remeh: aroma hujan di jalan aspal, suara cicak di dinding, detik jam di malam sepi. Semua itu dulu terasa membosankan dan terasa lebih panjang bahkan sekedar suara detik demi detik jam dinding dimalam hari begitu menyiksa. Tapi kini, mereka seperti penanda bahwa aku hidup. Bahwa aku masih bisa merasakan. Dan itu, bagi orang sepertiku, adalah keajaiban.  

Setiap kali aku menulis, aku merasa lebih utuh. Kata-kata membantuku memetakan rasa. Dulu, aku berpikir aku harus menjadi kuat agar bisa menulis. Ternyata sebaliknya, aku harus menulis agar bisa menjadi kuat. Tulisan-tulisan ini adalah bukti bahwa aku sedang belajar untuk pulih, meski perlahan. Menulis membuat aku lebih damai, mengungkapkan perasaanku tanpa rasa takut, mengalir,  sedikit membuat tenang. 

Aku mulai tersenyum pada orang asing. Bukan karena ingin dianggap ramah, tapi karena aku tahu, kadang senyum kecil bisa menyelamatkan hari seseorang. Aku pernah mengalami itu. Seseorang tersenyum padaku saat aku merasa ingin menyerah. Dan senyum itu, entah kenapa, memberiku alasan untuk bertahan sedikit lebih lama. Membuat aku merasa aku ada, qku dilihat aku mulai memberikan senyuman dan sedikit peduli dengan sekitarku. Dan senyum mengubah suasana hatiku lebih damai.

Aku tidak ingin semua cepat membaik. Aku tahu, proses ini tidak akan selesai dalam semalam. Tapi aku juga tahu, aku tidak berada di titik yang sama seperti dulu. Aku sudah jauh dari tempat aku pernah merasa hancur. Dan untuk itu, aku memberi diriku sendiri pelukan, meski tak terlihat tapi menguatkan diriku sendiri. Setiap badai pasti akan berlalu, dan kamu hebat telah melewatinya. 

Hari ini aku berjalan lebih jauh dari biasanya. Melewati batas yang dulu kutetapkan sendiri. Aku tidak tahu apa yang kucari, tapi aku merasa aku menemukannya dalam langkah itu, rasa percaya. Percaya bahwa hidup masih punya banyak hal untuk kutemui. Dan bahwa aku pantas mendapatkannya. Langkahku mulai semakin ringan, meskipun kadang kutemukan duri tapi tidak menyurutkan lamgkahku. 

Kini aku tahu, harapan tidak selalu datang dalam bentuk besar. Kadang, ia bersembunyi dalam secangkir kopi hangat, dalam doa sebelum tidur, dalam napas panjang yang menenangkan. Bahkan dalam derasnya air hujan yang datang tiba-tiba. Harapan itu ada, selama aku memilih untuk tidak memadamkannya.


Pagi itu jam 3 aku terbangun bukan karena mimpi buruk, tapi karena desir angin yang mengusik jendela. Tidak ada tangis, tidak ada sesak. Hanya hening yang damai. Rasanya aneh, tapi juga menyenangkan. Aku duduk di tepi tempat tidut sambil menatap jari-jari kakiku sejak aku  diam dan mebgambil nafas dalam kuoejamkan mata sejenak.Pelan kulangkahkan kaki. Ju Entah mengapa, aku ingin berdiri. Ingin keluar rumah. Ingin mencoba. Perlahan aku jalan keluar membuka pintu belakang aku berdiri tanpa alas kaki mebginjak rumput, menatap langit yang  gelap tapi bintang berkelip indah.... Aku tersenyum dan berbisik Alhamdulillah ya Allah ternyata begitu indah lukisan malam dan aku yakin tidak semua orang pernah menikmati dan melihat keindahan malam yang masih pekat. Dan tanpa aku sadari aku semakin sering melakukan itu karena setiap aku keluar menjejakkan kaki dirumput bahkan terkadang aku duduk bersimpuh sambil memandang langit, merasakan hembusan angin  pelan namun pasti kedamaian menyusup dalam hatiku. Ya Allah ternyata sesederhana itu menenangkan hati. Alhamdillah. 

Aku mulai mencoba mengenakan baju lama yang masih tersimpan rapi di lemari. Baju yang dulu kupakai saat masih merasa hidup penuh warna. Aku ingin tahu apakah aku masih pantas mengenakannya. Ternyata, bukan soal pantas atau tidak. Tapi tentang bagaimana aku merasa nyaman kembali dengan diriku sendiri. Menatap diriku sendiri, melakukan apapu sesuai inginku. Aku seperti menemukan sesuatu yang hilang. 

Suatu ketika langkah kakiku membawaku ke sebuah taman kota yang dulu sering kuhindari. Aku duduk di bangku yang teduh, mengamati anak-anak yang berlari tanpa beban. Senyum mereka mengingatkanku bahwa ada masa ketika aku pun seperti itu tidak takut akan apa pun, bahkan pada hal yang belum kukenal. Aku tersenyum mebgenang masa kecil.... Tidak terlalu indah tapi selalu ada kekuatan dan keberanian. 

Di sisi lain taman, seorang wanita paruh baya sedang melukis. Aku menatapnya cukup lama hingga ia tersenyum padaku dan berkata, “Kalau kamu bisa duduk dan melihat, kamu juga bisa menciptakan.” Kalimat itu menusuk, tapi tidak menyakitkan. Seperti dorongan kecil yang hangat. Aku tak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk. Tapi hatiku mulai bergerak.

Sejak hari itu, aku membeli cat air dan buku sketsa kecil. Tanganku kaku, garis-garisku tak rapi. Tapi aku tetap menggambar. Daun, langit, bayangan jendela, bahkan siluet diriku sendiri. Ternyata aku bukan kehilangan segalanya. Aku hanya lupa caranya merasakan.

Hari demi hari, gambarku mulai bercerita. Bukan tentang kesedihan, tapi tentang perjalanan. Tentang luka yang berubah jadi taman. Tentang gelap yang memberi ruang bagi cahaya untuk menonjol. Aku tidak ingin hasil yang sempurna. Aku hanya ingin jujur. Dan itu, ternyata, cukup membuatku merasa hidup.  Kadang saat terdiam tiba-tiba tanganku bergerak melukis secara acak apapun yang terlintas dalam otakku. Aku merasa bebas mengungkapkan apapun tanpa rasa takut. Yaaah... Ada luka disudut tesembunyi.. Luka masa kecil yang bahkan untuk sekedar menunjukkan presatasiku saja mulutku seperti tekunci rapat.  Kini aku menyadari ternyata dengan coretan banyak sekali luka-luka masa lalu  yang dapat kuungkapkan dan melegakan hati.  

Aku mulai mengambil kembali jam tanganku yang dulu kubiarkan mati. Aku membelikan baterai baru dan memakai lagi. Tanda kecil bahwa aku siap kembali menghargai waktu. Bukan karena ingin mengejar sesuatu, tapi karena aku sadar: waktu tidak berhenti menunggu siapa pun. Maka, aku ingin mengisinya dengan sadar.

Ada hari ketika aku mulai tertawa karena hal sepele, video lucu dihp seekor kucing yang mengejar bayangannya, atau komentar absurd dari teman-teman yang dulu aku anggap tidsk lucu dan norak. Aku tertawa karena aku ingin, bukan karena aku pura-pura. Dan itulah momen ketika aku tahu, aku sedang sembuh dari luka hatiku..... Begity lama aku hidup dalam kepura-puraan bahwa semua  baik-baik saja, aku kuat. 

Malam-malamku tidak lagi hanya berisi renungan, tapi juga rencana. Aku membuat daftar kecil hal-hal yang ingin kulakukan. Tidak besar. Tidak ambisius. Hanya hal sederhana: menyapa tetangga, menulis cerita, membaca buku, membaca puisi. Tapi tiap satu yang kutandai selesai, hatiku bertambah hangat. Aku melakukan semua hal yang dulu ingin kulakukan. Hanya sekedar membaca itu adalah hal yang dulu sangat kuinginkan dan sekarang aku bebas melakukan tanpa hujatan. 

Aku juga belajar menerima bahwa ada orang yang tidak akan pernah kembali, dan tidak semua kehilangan bisa digantikan. Tapi aku juga belajar bahwa hidup tidak hanya soal siapa yang ada, tapi juga siapa yang tetap tinggal di hati meski telah pergi. Dan satu hal yang aku  pelajari orang yang paling setia dan akan terus mengenggam tangan kita adalah diri sendirj. Janag pernah terlalu banyak berharap kepada siappun. 

Hari ini, aku berdiri di depan cermin dan berkata dengan lantang, “Aku tidak akan menyerah.” Kalimat itu terasa asing, tapi kuat. Aku menulisnya di post-it dan menempelkannya di atas bukuku. Setiap kali aku merasa runtuh, aku hanya perlu membacanya kembali. Dan ajaibnya, aku merasa utuh kembali.

Aku tahu, aku belum sampai di akhir perjalanan. Tapi kini, aku telah memutuskan: aku akan terus melangkah, sekecil apa pun itu. Karena dalam diamku, harapan tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu aku cukup berani untuk kembali memilih hidup.


Quote :

“Kita tidak pernah benar-benar hancur, kita hanya sedang menunggu untuk disusun kembali, dengan cara yang lebih kuat, lebih jujur.”



Aku selalu berpikir bahwa diam adalah bentuk perlindungan. Tapi kini aku mulai sadar: diam juga bisa menjadi penjara. Dan jika aku terus berada di dalamnya, aku akan kehilangan seluruh dunia. Maka pagi ini, aku keluar lebih awal dari biasanya, membawa sketsa dan keberanian yang masih baru saja tumbuh.

Langkah kakiku membawaku ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempat itu sederhana tapi nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke jalan. Aku duduk di pojok, membuka buku sketsa dan mulai menggambar siluet wajah dari orang-orang yang berlalu lalang. Beberapa kali aku tertangkap sedang memperhatikan, dan mereka membalas dengan senyum. Rasanya... hangat. Bukan karena kopi, tapi karena koneksi yang selama ini kulupakan.

Suatu malam, saat hujan deras membasahi jendela kamar, aku menyalakan lampu dan membuka surat-surat lama. Surat dari masa ketika aku masih percaya bahwa semua luka bisa sembuh hanya dengan waktu. Tapi waktu saja ternyata tidak cukup. Perlu keberanian, ketulusan, dan sering kali... uluran tangan dari seseorang yang tidak kau duga.

Aku menulis balasan untuk diriku yang dulu, bukan untuk menjelaskan mengapa aku berubah, tapi untuk mengucapkan terima kasih karena telah tetap di sini. Untuk semua malam yang penuh kebisuan, semua rasa takut yang tak bernama, dan langkah-langkah kecil yang tetap kuambil meski dunia terasa berat. Aku ingin memeluk semua versi diriku yang pernah merasa asing, kecewa, kehilangan arah, tapi tetap memilih bertahan. Terima kasih telah mendengarkan suara hati yang nyaris putus asa dan tenggelam, telah tetap percaya walau harapan sering kabur dari pandangan. Terima kasih sudah berani melangkah.

Kita mungkin pernah rapuh, tapi kita tidak pernah hilang, tulisku. Kalimat itu bukan penghiburan, tapi kebenaran yang telah terbukti. Dalam perjalanan ini, aku telah menyaksikan bagaimana luka bisa menjadi ruang bertumbuh, dan air mata menjadi cermin ke dalam. Aku tidak lagi marah pada masa lalu, karena di sanalah kekuatan dibentuk secara diam-diam. Hari ini aku berjalan lebih tenang, bukan karena segalanya sudah mudah, tapi karena aku tahu, aku pernah jatuh dan bangkit, pernah tersesat dan tetap memilih pulang ke diri sendiri. Dan itu lebih dari cukup

Aku pulang dengan langkah ringan. Di depan rumah, langit mulai jingga. Hari akan berganti malam. Tapi hatiku justru merasa fajar baru akan dimulai. Perasaan hangat menyusup dalam hatiku. Pulang... Ya... Mungkin ini bukan rumah yang aku harapan, tapi aku percaya suatu saat akan ada tempat yang membuat aku merasa pulang. Dan saat ini pulang adalah ke diri akau sendiri. Aku terdiam sejenak menatap pintu yang mulai koyak menatap lampu-lampu tetangga yang mulai menyala... Ya Allah suatu saat rumah dan tempat aku pulang juga akan penuh lampu berkerlip indah. Pelan kubuka pintu... Assalamualaikum... Aku pulang.... Bisikku lirih. .. Pulang.. Yaa... Pulang untuk diriku sendiri. 


Quote :

“Kadang keberanian tidak datang dalam bentuk teriakan. Tapi dalam langkah kecil yang tak lagi mundur.

Posting Komentar

0 Komentar