Ada kemudahan dibalik kesulitan

 

Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Rasanya hidup ini seperti ujian panjang tanpa jeda, tanpa akhir, tanpa kesempatan untuk benar-benar bernapas. Setiap kali aku merasa telah menyelesaikan satu tantangan, hidup menghadirkan ujian baru yang lebih berat, lebih kompleks, dan lebih melelahkan. Aku terus mencoba tetap kuat. Tapi hari ini... aku merasa benar-benar rapuh.

Sudah 21 tahun aku bekerja. Lima belas tahun terakhir, aku menjabat sebagai Sales Manager, jabatan yang kudapatkan dengan kerja keras, air mata, dan pengorbanan yang tak sedikit. Aku melewati berbagai target yang gila-gilaan, persaingan yang ketat, lembur tanpa batas, serta tekanan dari atasan dan bawahan yang tak selalu bisa diandalkan. Tapi aku bertahan. Karena aku percaya, dengan kesetiaan dan etos kerja yang baik, masa depan akan berpihak padaku.

Namun semua itu berubah ketika dunia disergap pandemi. COVID-19 menghantam setiap sisi kehidupan, termasuk tempatku bekerja. Perusahaan yang dulunya kokoh perlahan limbung. Angka penjualan menurun drastis, dan strategi-strategi besar yang dulu kami banggakan tiba-tiba menjadi tidak relevan. Aku menyaksikan sendiri bagaimana satu per satu rekan kerja di-PHK. Dan pada akhirnya, namaku pun ikut dalam daftar itu.

Awalnya aku percaya bahwa semua ini hanyalah fase. Aku yakin dengan pengalaman dan posisi terakhirku, aku tidak akan sulit mendapat pekerjaan baru. Dan memang benar, beberapa bulan kemudian aku kembali bekerja, masih dengan posisi sebagai Sales Manager. Tapi kenyataannya jauh dari ekspektasi. Gaji yang ditawarkan sangat jauh di bawah standar. Benefit nyaris tidak ada. Status kerja hanya kontrak. Aku menerimanya karena tak punya pilihan lain.

Begitu terus siklusnya. Satu-dua bulan bekerja, lalu perusahaannya goyah, aku kembali dipecat. Beberapa kali dapat pekerjaan lagi, tapi setiap kali kondisinya semakin turun. Aku lelah. Rasanya seperti hidup mempermainkanku.

Aku yang dulu memimpin rapat besar, sekarang kadang hanya duduk di meja kecil sambil mengetik laporan harian. Aku yang dulu biasa presentasi di depan manajemen pusat, kini bahkan harus meyakinkan diriku sendiri setiap pagi agar tidak menyerah. Bukan pada pekerjaan, tapi pada hidup.

Malam itu, aku pulang kerja lebih awal. Hujan turun deras membasahi jaketku yang mulai lusuh. Aku masuk kamar, melepaskan sepatu dan jaket, lalu duduk lama di tepi ranjang. Aku tidak menangis. Aku hanya diam. Tapi di dalam kepalaku, segalanya seperti riuh.

Aku merasa sendiri. Bukan hanya karena sudah tak punya pasangan hidup, tapi karena aku tidak tahu lagi ke mana harus bersandar. Ayahku sudah lama tiada. Anakku walau selalu jadi penguat, tetaplah seorang anak. Ia tidak layak menanggung semua bebanku. Aku ingin bicara dengan seseorang, tapi tidak tahu siapa. Aku ingin bersandar, tapi tak ada bahu yang tersedia.

Akhirnya aku mengambil air wudhu dan membentangkan sajadah. Di atas kain yang sudah mulai pudar warnanya, aku bersimpuh. Tak ada doa yang panjang. Hanya satu bisikan lirih dari hati yang nyaris hancur, “Ya Allah… jika semua ini memang harus aku lalui, tolong beri aku kekuatan. Aku sudah hampir menyerah.”

Tanganku meraih Al-Qur’an yang lama tergeletak di rak. Jari-jariku yang gemetar membuka halaman demi halaman. Sampai akhirnya, aku berhenti di satu surat yang seolah memang Tuhan kirimkan untukku, Surat Al-Insyirah.

"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan beban darimu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al-Insyirah: 1–6)

Aku membacanya perlahan. Ayat demi ayat menyentuh ruang hatiku yang terdalam. Rasanya seperti Tuhan benar-benar sedang menenangkanku. Dia tahu aku menanggung beban yang berat. Dia tahu aku mulai goyah. Tapi Dia juga ingin aku percaya bahwa setiap kesulitan, selalu diiringi dengan kemudahan.

Air mata akhirnya jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena merasa dipeluk. Di malam yang sepi, di kamar kecil itu, aku merasa tidak benar-benar sendiri. Tuhan tidak pernah pergi. Hanya aku yang kadang terlalu sibuk memikul beban sampai lupa untuk berpaling dan melihat bahwa Dia selalu ada.

Malam itu, aku memeluk Al-Qur’an seperti memeluk harapan. Tidak semua lukaku sembuh, tapi setidaknya aku tahu… aku masih punya tempat untuk kembali.

Pagi datang, tapi aku sudah terjaga sejak dini. Bukan karena semangat yang berlimpah, tetapi karena kebiasaan yang sudah mendarah daging: bangun sebelum matahari, menyiapkan segala sesuatu yang perlu agar hari berjalan lancar. Anakku masih tidur lelap, tapi aku tahu seiring berjalannya waktu, aku harus lebih cepat bergerak untuk memastikan semuanya berjalan seperti biasa.

Setelah menyiapkan sarapan dan membereskan rumah, aku duduk sejenak di meja makan. Menatap cangkir teh yang hangat, merasa sejenak hampa. Pagi-pagi seperti ini, kadang aku merasa seolah dunia ini milik orang lain. Semua orang tampak punya alasan untuk bangun dan berjuang, sementara aku? Apa yang masih tersisa dari impian-impian yang dulu kupunya?

Sudah lebih dari dua dekade aku bekerja. Dua puluh satu tahun yang tak mudah. Lima belas tahun menjadi Sales Manager, menapaki segala macam perubahan, tantangan, dan kejatuhan. Kadang aku merasa seperti sedang berperang dengan dunia yang tak pernah berhenti bergerak, sementara aku harus tetap berjalan, meski seringkali hampir tersandung.

Selama ini, aku selalu merasa bahwa pekerjaan adalah segalanya. Dalam dunia yang semakin kompetitif ini, aku harus bekerja keras agar tetap bisa memberi yang terbaik. Tapi yang aku tidak tahu adalah, ketika aku begitu fokus mengejar target, aku seringkali melupakan diriku sendiri. Mungkin itulah kenapa aku merasa semakin lelah, semakin terperangkap dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Terkadang aku merasa sudah kehilangan arah. Aku lupa apa yang sebenarnya penting.

Ayahku sudah lama meninggal. Sejak kepergiannya, aku merasakan ada kekosongan yang tak pernah terisi lagi. Beliau adalah orang yang selalu memberi nasihat dan semangat di saat aku merasa lemah. Saat aku kehilangan Ayah, aku merasa kehilangan kekuatan hidup. Aku merasa tak ada lagi yang bisa kuandalkan, kecuali diriku sendiri.

Namun aku juga menyadari, meskipun aku sering merasa lelah, ada sesuatu yang membuatku terus bertahan. Itu adalah anakku. Dia adalah alasan aku bangun setiap hari. Dia adalah harapan yang menuntun langkahku, meskipun terkadang rasanya aku ingin berhenti.

Aku melihat anakku tidur di kamarnya. Melihat wajah polos yang tak tahu apa-apa tentang segala perjuangan yang aku hadapi. Dia hanya tahu bahwa aku adalah ibu, yang selalu ada untuknya. Di matanya, aku adalah sosok yang kuat, yang tak pernah menyerah. Tapi, apa yang dia tidak tahu adalah betapa besar rasa takutku untuk gagal. Takut kalau aku tidak bisa memberi yang terbaik untuknya. Takut jika aku tidak bisa memberinya kehidupan yang lebih baik dari apa yang aku alami.

Aku sering berpikir, jika saja aku bisa menyingkirkan beban ini beban yang membuatku merasa sendirian, yang membuatku merasa seolah dunia ini terlalu berat untuk dijalani. Jika saja aku bisa mendapatkan sedikit kedamaian, aku ingin memberikannya kepadanyaa. Aku ingin dia tumbuh tanpa merasakan kekhawatiran yang aku alami. Tapi hidup memang tidak semudah itu.

Aku sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa semua ini harus terjadi. Kenapa hidupku harus melalui begitu banyak kesulitan? Tapi ketika aku menatap wajah anakku, aku tahu jawabannya. Aku masih harus berjuang. Dia adalah alasan aku bangkit setiap kali aku jatuh. Mereka adalah kekuatan yang membuatku terus berjalan, meskipun kadang aku merasa seakan-akan aku berjalan di jalan yang tak pernah berujung.

Sore itu, aku duduk sendiri di ruang tamu yang sepi, hanya ditemani suara hujan yang turun di luar. Pikiranku kembali terjebak dalam kebingungan. Pekerjaan, kehidupan, masa depan, semuanya terasa begitu tidak pasti. Tapi kemudian aku teringat kembali pada ayat-ayat Al-Qur’an yang semalam ku baca, Surat Al-Insyirah, yang mengingatkanku bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan yang menyertainya.

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5–6)

Ayat itu kembali menguatkan hatiku. Mungkin kesulitan ini tidak akan hilang begitu saja. Tapi aku mulai menyadari bahwa, mungkin, kemudahan itu datang dalam bentuk yang berbeda. Kemudahan itu bukan berarti semuanya menjadi mudah, tapi mungkin datang dalam bentuk kekuatan untuk terus bertahan, untuk tidak menyerah. Kemudahan itu datang dalam bentuk keberanian untuk menghadapi hari-hari berikutnya meskipun semuanya tampak gelap.

Pernah suatu malam, anakku yang kecil datang menghampiriku dengan mata yang mengantuk. “Mama, jangan sedih ya. Aku akan selalu ada buat Mama.” Kalimat itu membuat hatiku teriris. Anak kecil itu tahu, meskipun dia tidak mengerti sepenuhnya, dia tahu bahwa aku sedang berjuang. Dan dia ingin aku tahu bahwa aku tidak sendirian.

Aku merasa terharu. Terkadang, aku lupa bahwa dalam setiap kesulitan, ada cinta yang menguatkan. Aku lupa bahwa dalam perjuangan yang panjang, ada seseorang yang mengandalkanku, yang percaya padaku, meskipun aku sering merasa tidak cukup baik.

Aku memejamkan mata, dan untuk sejenak aku membayangkan masa depan. Mungkin tidak semuanya akan indah. Mungkin aku akan menghadapi lebih banyak tantangan lagi. Tetapi satu hal yang pasti, selama aku punya anak di sisiku, selama aku masih punya keinginan untuk berjuang, aku akan terus melangkah.

Tuhan, aku tahu jalan ini tidak mudah. Tapi aku percaya, jika Engkau memberiku kekuatan untuk terus bertahan, aku akan mampu melewati semuanya. Aku akan terus berjuang, bukan hanya untuk diriku, tetapi untuk mereka yang aku cintai. Karena dalam hidup ini, meski penuh cobaan, ada kemudahan yang tak tampak di awalnya. Dan kemudahan itu… aku akan menantikannya dengan sabar.

Minggu-minggu berlalu dengan cepat, meskipun setiap hari terasa begitu berat. Rutinitas yang hampir sama setiap harinya mulai terasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena aku sudah mulai belajar untuk tidak terlalu menekan diri sendiri, untuk menerima kenyataan bahwa aku tidak bisa mengontrol segalanya. Aku mulai memahami bahwa hidup bukanlah tentang menghindari kesulitan, tetapi bagaimana kita menghadapi dan menghadapinya dengan hati yang lebih lapang.

Hari itu, aku duduk di sebuah kafe kecil yang ramai dengan pengunjung, tetapi aku merasa sangat sunyi. Aku menyendiri di sudut, secangkir kopi di tangan, mata menatap kosong keluar jendela. Di luar, langit cerah, cuaca panas, tetapi di dalam diriku masih ada rasa sejuk yang menenangkan, sejuk yang datang dari dalam hati setelah bertahun-tahun penuh gejolak.

Aku tidak tahu apakah ini pertanda bahwa aku mulai menerima hidupku, atau justru karena aku sudah terlalu lelah berlari mengejar sesuatu yang tak pasti. Tapi yang jelas, sesuatu mulai berubah. Aku merasa lebih tenang. Keputusan-keputusan yang aku buat mulai lebih dipandu oleh hati yang lebih lapang, bukan hanya oleh rasa takut atau keinginan untuk menghindari kegagalan.

Tiba-tiba, aku teringat pada percakapan beberapa hari lalu dengan seorang teman lama. Kami berbincang tentang perjalanan hidup, tentang pekerjaan, dan tentu saja, tentang apa yang membuat hidup ini terasa lebih berarti. Temanku bercerita tentang bagaimana ia memilih untuk mengejar hal-hal yang selama ini ia tak sempat lakukan karena terlalu sibuk bekerja dan mengejar kesuksesan. Ia mulai menghabiskan waktu lebih banyak untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, dan untuk hal-hal yang memberinya kebahagiaan sederhana.

Aku terdiam mendengarnya. Aku belum pernah benar-benar memikirkan hal itu. Selama ini, aku terlalu fokus pada pekerjaan, pada target-target yang harus dicapai, dan pada segala hal yang membuatku merasa "berhasil." Aku hampir lupa apa artinya bahagia. Aku hampir lupa apa yang sebenarnya membuatku merasa hidup.

Aku mulai bertanya pada diriku sendiri: Apa yang sebenarnya aku inginkan? Apa yang benar-benar penting bagiku selain pekerjaan dan segala tuntutannya?

Hidup ini tidak hanya tentang pekerjaan atau pencapaian yang terlihat di luar. Aku tahu itu. Aku tahu bahwa ada hal-hal lain yang jauh lebih berarti, seperti keluarga, persahabatan, dan ketenangan batin. Namun, seringkali aku terjebak dalam tuntutan dunia yang membuatku lupa untuk menikmati hidup itu sendiri.

Ketika aku kembali ke rumah malam itu, aku duduk bersama anakku setelah  selesai makan malam. Kami hanya berbincang ringan tentang kegiatannya, tentang sekolah, tentang teman-teman, tentang hal-hal sederhana yang mungkin aku lewatkan dalam hiruk-pikuk kehidupan. Aku tersenyum saat anak kecilku bercerita dengan semangat tentang pelajaran matematika yang ia pelajari di sekolah. Sepertinya aku melupakan satu hal penting bahwa dalam kehidupan yang begitu penuh tantangan, ada juga kebahagiaan dalam momen-momen kecil yang kita lupakan begitu saja.

Aku memandang wajah gadis kecilku yang kini beranjak dewasa, dan hatiku tiba-tiba penuh dengan rasa syukur. Meskipun aku merasa hidup ini berat, aku tahu aku tidak sendirian. Aku memilikinya. 

Dalam keheningan malam itu, aku membuka Al-Qur'an lagi. Aku merasakan ketenangan yang datang begitu saja ketika aku membacanya. Surat-surat yang sebelumnya terasa begitu jauh dan sulit untuk dipahami, kini mulai memberi makna yang lebih dalam. Aku merasa seolah Tuhan berbicara langsung kepadaku, memberi aku kekuatan untuk terus berjalan.

Hari itu, aku kembali mengingat Surat Al-Insyirah yang selalu menguatkanku, dan aku mengulang-ulang ayat itu di dalam hati:

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5–6)

Kemudahan itu datang bukan berarti hidup menjadi mudah, tetapi dalam bentuk kekuatan untuk terus bertahan. Untuk percaya bahwa setiap kesulitan pasti ada akhirnya, dan setiap ujian pasti ada hikmahnya.

Aku mulai merasakan bahwa hidup ini bukan hanya tentang mengatasi kesulitan, tetapi juga tentang bagaimana kita belajar dari setiap proses. Setiap kesulitan yang aku hadapi, setiap kegagalan yang aku alami, semuanya mengajarkan aku lebih banyak tentang siapa diriku, tentang kekuatan yang aku miliki, dan tentang bagaimana aku bisa lebih baik lagi sebagai ibu, sebagai wanita, dan sebagai manusia.

Malam itu, aku merasa seolah aku menemukan cahaya dalam kegelapan. Meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, aku mulai percaya bahwa jika aku terus berusaha dan selalu berpijak pada keyakinan, akan selalu ada jalan menuju kedamaian hati. Jalan yang mungkin tidak selalu lurus, tetapi tetap akan membawaku menuju tempat yang lebih baik.

Hari-hari terus berlalu, dan aku merasa ada perubahan dalam diriku. Tidak lagi tergesa-gesa mengejar sesuatu yang belum tentu membahagiakan. Aku mulai belajar untuk lebih menikmati hidup, meskipun dalam kesederhanaan. Mungkin ini adalah fase di mana aku benar-benar memahami arti hidup yang sesungguhnya.

Namun, sekarang aku mulai merasa ada kedamaian dalam diriku. Seperti ada ruang kosong yang akhirnya terisi kembali, ruang yang selama ini kosong karena kesibukan hidup dan ketakutanku akan masa depan. Mungkin, ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang lebih dalam, bagian yang aku tak pernah perhatikan sebelumnya.

Hari itu, aku bertemu dengan seorang sahabat lama. Ia bercerita tentang keputusan besar yang diambilnya, untuk berhenti dari pekerjaannya yang telah ia jalani bertahun-tahun, dan memilih jalan yang lebih sesuai dengan passion-nya. Ia memulai usaha kecil-kecilan, sesuatu yang ia cintai, meskipun awalnya penuh dengan ketidakpastian. Aku terdiam mendengarnya. Ia berbicara dengan keyakinan, dengan api dalam matanya yang menceritakan tentang kebahagiaan yang datang dari menjalani apa yang kita cintai. Mungkin, inilah yang aku butuhkan. Tidak hanya keberhasilan dalam pekerjaan, tetapi juga kebahagiaan dalam apa yang aku lakukan.

Aku mulai merenung lebih dalam. Apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup? Aku tahu aku tidak bisa terus menghabiskan waktu hanya untuk bekerja keras mengejar gaji dan status. Aku butuh keseimbangan. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, untuk anakku, dan untuk melakukan hal-hal yang bisa memberi kebahagiaan tanpa harus menunggu hasilnya.

Keputusan itu tidak datang dengan mudah. Aku bertanya-tanya, apakah ini waktu yang tepat? Apakah aku cukup kuat untuk membuat perubahan besar dalam hidupku? Tetapi, aku juga tahu, aku tak akan pernah tahu jawabannya jika aku terus berada di zona nyaman yang sama. Terkadang, perubahan itu perlu, untuk bisa tumbuh, untuk bisa benar-benar hidup.

Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mulai mencari tahu lebih banyak tentang minat dan passion yang selama ini aku abaikan. Aku mulai berpikir untuk memulai sesuatu yang baru. Mungkin aku tidak bisa langsung meninggalkan pekerjaanku yang lama, tetapi aku bisa mulai merencanakan perubahan secara perlahan. Aku mulai mencari peluang yang dapat memberi keseimbangan antara pekerjaan dan waktu bersama keluarga. Sesuatu yang memberi kebahagiaan sejati.

Saat aku membuka laptop di sore hari itu, aku menemukan banyak peluang yang menarik. Aku mencari tahu tentang berbagai macam usaha kecil yang bisa dimulai dari rumah, tentang bidang yang bisa aku geluti tanpa harus meninggalkan tanggung jawab utamaku sebagai ibu dan pekerja. Mungkin ini bukan langkah besar, tetapi aku merasa ini adalah awal yang tepat. Aku akan mulai mengambil langkah-langkah kecil menuju perubahan.

Tapi, bukan berarti semuanya akan mudah. Tentu saja, ada ketakutan yang masih menghinggapi,takut gagal, takut membuat keputusan yang salah. Tapi aku tahu, ketakutan itu adalah bagian dari perjalanan. Aku hanya perlu berani menghadapi setiap langkah, meskipun tidak pasti. Karena seperti yang selalu aku ingatkan pada diriku sendiri: setiap kesulitan pasti ada kemudahan.

Aku merasakan ketenangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin hidup ini tidak akan selalu mudah, tetapi aku sudah belajar untuk menerima kenyataan. Aku belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri, untuk memberi ruang bagi diri untuk bernafas, dan untuk merayakan setiap langkah kecil yang aku ambil.

Kini, saat aku menatap masa depan, aku tidak lagi merasa cemas atau takut. Aku tahu, hidup ini penuh dengan peluang dan tantangan. Aku akan menghadapi keduanya dengan hati yang lapang, dengan tekad yang kuat, dan dengan harapan yang tak akan pernah padam.

Malam itu, setelah seharian berkeliling dan mengurusi berbagai hal, aku duduk di ruang kerjaku, merenung. Udara malam yang tenang seolah memberi ruang bagi pikiranku yang selalu sibuk. Beberapa kali, aku merasa seolah hidup ini telah memberikan ujian yang tiada henti. Namun, di tengah lelah dan kebingunganku, aku merasa ada secercah harapan yang mulai muncul.

Sesuatu yang sudah lama terpendam di dalam diriku, sebuah impian yang aku tak pernah benar-benar berani kejar. Aku ingin memiliki usaha sendiri. Sebuah usaha yang bisa aku kelola, yang memberikan kebebasan untuk bekerja sambil tetap memberikan manfaat bagi orang lain. Selama bertahun-tahun aku berkecimpung dalam dunia kerja, aku tahu banyak hal tentang produk kesehatan, alat medis, dan bagaimana pentingnya kualitas dalam dunia ini. Kenapa tidak menjadikannya sebuah peluang usaha?

Aku mengingat saat-saat pertama kali bekerja di perusahaan alat kesehatan. Bagaimana aku belajar tentang alat-alat medis yang banyak digunakan di rumah sakit dan klinik, dan betapa pentingnya peran distributor dalam memastikan kualitas dan keberlanjutan pasokan alat kesehatan yang tepat. Itulah yang membuatku terinspirasi. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk memulai, meskipun aku tidak tahu pasti apakah aku bisa menghadapinya.

Di balik segala keraguan, ada satu keyakinan yang mulai tumbuh dalam diriku. Aku tahu bahwa untuk membangun usaha di bidang alat kesehatan, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan jaringan yang kuat. Aku punya pengalaman bertahun-tahun di industri ini, dan aku tahu apa yang dibutuhkan pasar. Namun, aku juga sadar bahwa untuk melangkah lebih jauh, aku harus benar-benar memahami seluk-beluk bisnis distribusi alat kesehatan yang lebih luas.

Aku memutuskan untuk mulai mencari informasi lebih lanjut. Aku mulai menghubungi teman-teman lama yang masih bekerja di perusahaan-perusahaan alat kesehatan. Banyak di antara mereka yang memberiku wawasan yang lebih dalam tentang dunia distribusi, tentang bagaimana memulai usaha dari nol, hingga tantangan besar yang harus dihadapi. Aku juga mencari tahu tentang regulasi dan izin yang diperlukan untuk menjalankan usaha distribusi alat kesehatan—yang tak bisa sembarangan dilakukan tanpa pemahaman yang tepat.

Namun, semakin aku menggali, semakin aku merasa ada tembok besar yang menghalangiku. Meskipun aku memiliki pengetahuan tentang produk, pengalaman bertahun-tahun di industri ini, dan jaringan yang cukup luas, ada satu hal yang membuatku ragu: modal. Bagaimana aku bisa memulai usaha ini jika modal yang aku miliki tidak cukup? Bagaimana jika aku gagal? Aku merasa terjebak antara harapan dan ketakutan, antara impian dan kenyataan.

Di tengah kebingunganku, aku teringat sebuah doa yang dulu sering aku baca. Doa yang selalu memberi ketenangan setiap kali aku merasa ragu atau terpuruk. "Ya Allah, jika ini adalah jalan yang Engkau takdirkan untukku, berikanlah aku petunjuk dan kekuatan untuk melewatinya."

Aku menutup mata dan menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku sadar, hidup memang tidak pernah mudah. Setiap langkah yang kita ambil selalu penuh dengan risiko. Namun, bukan berarti itu harus menghentikan langkah kita. Mungkin, ini adalah waktu yang tepat untuk mulai belajar dan berusaha, meskipun ada ketidakpastian di depan sana.

Aku memutuskan untuk mulai mengumpulkan informasi lebih dalam lagi, berencana untuk melakukan riset pasar dan mencari tahu lebih banyak tentang supplier alat kesehatan yang dapat bekerja sama. Mungkin, ini adalah langkah kecil, tetapi setidaknya aku mulai bergerak ke arah impian itu.

Hari demi hari, aku mulai merasa lebih yakin. Meski terkadang ketakutan datang menyelinap, aku mulai belajar untuk menerima ketidakpastian itu. Aku tidak perlu tahu segala hal sekarang, yang penting aku mulai dengan apa yang aku punya. Aku mulai mengatur rencana secara lebih matang, berbicara dengan beberapa teman yang ahli di bidang ini, dan mulai menjalin hubungan dengan beberapa produsen alat kesehatan.

Aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah. Bisnis alat kesehatan membutuhkan perhatian yang serius, tidak hanya pada kualitas produk, tetapi juga pada proses distribusi, legalitas, dan hubungan yang kuat dengan pelanggan. Namun, satu hal yang aku sadari adalah bahwa aku sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk memulai. Selama bertahun-tahun, aku sudah banyak belajar tentang bagaimana industri ini bekerja, dan itu memberikan keyakinan bahwa aku bisa menghadapinya.

Aku tak tahu pasti bagaimana semua ini akan berakhir, tetapi aku tahu bahwa aku harus mencoba. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang besar, atau mungkin ini hanya langkah kecil yang mengarah pada banyak hal yang lebih baik. Tapi yang pasti, aku merasa lebih hidup, lebih memiliki tujuan.

Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil langkah pertamamendaftarkan usaha ini, mulai mencari modal kecil, dan membangun hubungan dengan beberapa penyedia produk alat kesehatan. Jika Tuhan mengizinkan, aku akan melangkah lebih jauh. Tetapi jika tidak, aku sudah tahu bahwa setidaknya aku telah mencoba, dan itulah yang terpenting.

Aku kembali memandang langit malam itu, dengan hati yang lebih tenang. Mungkin tidak ada jaminan dalam hidup ini, tetapi aku tahu bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan semangat untuk berjuang. Aku percaya, selagi ada usaha dan doa, segala kemungkinan masih terbuka lebar.

Hari-hari berlalu, dan meskipun rintangan selalu datang menghampiri, aku merasa hatiku semakin kuat. Pekerjaan di kantor, meskipun tetap berjalan, tidak lagi menjadi satu-satunya fokus dalam hidupku. Aku merasa ada hal lain yang lebih besar yang sedang aku perjuangkan—sebuah impian yang akhirnya aku mulai percayai. Bisnis distribusi alat kesehatan ini bukan hanya tentang keuntungan semata, tetapi tentang memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat, memberikan solusi untuk kebutuhan medis yang tak terhindarkan, dan juga memberi harapan bagi diriku sendiri.

Namun, perjalanan ini tidak mudah. Setiap langkah yang aku ambil masih penuh dengan ketidakpastian. Aku mulai mencoba menjalin kerjasama dengan beberapa supplier alat kesehatan, tetapi modal yang terbatas membuat semuanya terasa lambat. Aku merasa seolah-olah aku hanya berjalan di tempat, dan terkadang rasa frustasi datang begitu saja. Ketika melihat teman-temanku yang sudah lebih dulu sukses, perasaan cemas itu semakin kuat. Apakah aku bisa benar-benar sukses? Apakah usaha kecilku ini bisa berkembang?

Di satu malam yang tenang, setelah anak-anak tidur, aku duduk sendiri di ruang tamu, menatap lembaran rencana bisnis yang masih kosong. Dalam hatiku, ada doa yang belum terucap, harapan yang tak tahu harus kupanjatkan kemana.

Aku menyadari bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Aku tak bisa memaksakan hasil sesuai dengan harapanku. Tapi aku juga tahu satu hal—setiap usaha yang dilakukan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, meskipun sulit, pasti akan menemukan jalannya. Aku mulai menulis di selembar kertas, menuliskan permohonanku kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa.

"Ya Allah, aku tahu aku tidak sempurna. Aku tahu usaha ini bukan jalan yang mudah, dan banyak rintangan yang harus aku hadapi. Tapi Engkau adalah Tuhan yang Maha Pengasih, yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Mu. Ya Allah, jika jalan ini adalah takdirmu untukku, berikanlah aku kekuatan untuk terus berjuang. Jangan biarkan aku lelah dalam berusaha. Jika Engkau menginginkan agar usaha ini sukses, tunjukkanlah jalan-Nya. Jika tidak, aku mohon Engkau beri aku petunjuk dan beri aku ketabahan hati untuk menerima apapun yang Engkau tentukan.

Ya Allah, aku tidak meminta hidup yang mudah, hanya meminta kekuatan untuk menjalani setiap ujian-Mu. Jika ini adalah jalan yang benar, maka tolong permudah setiap langkahku. Bimbing aku dalam setiap keputusan yang kuambil, dan jauhkan aku dari keraguan yang menghalangi kemajuanku. Aku tahu, dengan pertolongan-Mu, tidak ada yang mustahil._

Aku berdoa agar Engkau memberikan keberkahan dalam setiap usaha dan kerja keras yang aku lakukan. Semoga aku bisa menjadi pribadi yang bermanfaat, bisa membantu mereka yang membutuhkan alat-alat medis yang berkualitas, dan menjadikan usaha ini sebagai ladang amal dan kebaikan. Ya Allah, jika ini adalah jalan yang Engkau tentukan, tolong permudahkanlah. Jika ada halangan, beri aku kekuatan untuk menghadapinya._

Aku pasrahkan segalanya kepada-Mu, ya Allah. Semoga hidup ini menjadi berkah, dan setiap langkahku penuh dengan ridha-Mu."_

Aku mengangkat tangan, menundukkan kepala, dan memohon dengan penuh ketulusan. Dalam diam, aku merasakan ada kedamaian yang mengalir dalam hatiku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, atau bagaimana perjalanan ini akan berlanjut. Tapi aku tahu satu hal—aku telah melakukan yang terbaik yang aku bisa, dan aku menyerahkan sisanya pada Allah.

Setelah beberapa lama, aku merasa lebih ringan. Doa dan harapan yang kukirimkan terasa seperti angin yang menyapu keraguan dan ketakutan yang selama ini menumpuk. Aku tahu bahwa segala sesuatunya berada di tangan-Nya, dan yang terpenting adalah aku terus berusaha, tidak pernah menyerah, dan tetap berdoa.

Beberapa hari setelah itu, aku menerima kabar baik dari salah satu supplier yang sudah aku hubungi beberapa waktu lalu. Mereka tertarik untuk bekerja sama. Aku hampir tidak bisa mempercayainya. Segera setelah itu, aku memulai negosiasi dengan mereka, dan rencana distribusi alat kesehatan yang telah lama kuimpikan mulai terwujud.

Meskipun langkah-langkah awal ini masih kecil, aku merasa bahwa Tuhan benar-benar mendengarkan doa-doaku. Segala sesuatu mulai berjalan, meskipun perlahan. Aku mulai merasa bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang panjang, yang akan membawa aku menuju impian yang selama ini kupendam.

Aku terus berusaha untuk belajar, terus menggali ilmu tentang bisnis, tentang pengelolaan, tentang pemasaran alat kesehatan. Setiap langkah yang aku ambil semakin menguatkan tekadku, bahwa aku akan terus maju, tidak peduli seberapa sulitnya jalan yang aku tempuh.

Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan selalu mudah. Ada banyak tantangan yang menanti di depan, tetapi aku tidak lagi takut. Aku percaya, dengan usaha yang sungguh-sungguh, dengan doa yang tulus, dan dengan kepercayaan pada diri sendiri dan Tuhan, semua ini bisa tercapai.

Dalam setiap doa yang aku panjatkan, aku tidak pernah berhenti berharap. Harapan itu seperti cahaya yang terus membimbingku, memberikan keyakinan bahwa tidak ada yang mustahil selama aku terus berusaha. Aku memandang masa depan dengan penuh semangat dan keyakinan bahwa, suatu hari nanti, usaha ini akan berkembang, dan aku akan mampu memberikan manfaat untuk banyak orang.

Pagi itu, aku duduk di meja kerjaku, di hadapan laptop yang penuh dengan dokumen dan catatan. Hari-hari terakhir terasa seperti sebuah mimpi yang perlahan menjadi nyata. Kerjasama dengan supplier yang sudah aku harapkan akhirnya terwujud. Meskipun begitu, ada banyak hal yang harus aku siapkan. Setiap keputusan yang kuambil kini lebih berpengaruh pada masa depan usahaku. Tanggung jawab ini semakin berat, dan aku tahu aku tak bisa berjalan sendirian.

Aku mengingat kembali percakapan panjang dengan anak-anakku malam kemarin. Mereka tampak begitu antusias, bahkan mulai memberi beberapa ide yang tak terduga. Mereka tahu betapa pentingnya usaha ini bagi kami, dan bagi mereka, aku adalah contoh dari ketekunan dan kerja keras. Itu membuatku merasa lebih bersemangat dan lebih yakin, meskipun terkadang keraguan masih datang menyelip.

Satu hal yang aku sadari, perjalanan ini penuh dengan hal-hal tak terduga. Ada masa-masa di mana aku merasa sangat dekat dengan sukses, namun tak jarang juga aku dihadapkan dengan tantangan besar yang membuatku hampir ingin menyerah. Modal yang terbatas, risiko bisnis yang tinggi, dan persaingan yang ketat—semua itu datang begitu cepat. Aku tak bisa lagi hanya bergantung pada insting. Aku harus cermat dan hati-hati dalam mengambil langkah.

Suatu pagi, aku menerima telepon dari salah satu teman lama, seorang profesional di bidang pemasaran alat kesehatan. Ia memberitahuku bahwa ada peluang untuk mendapatkan proyek besar dengan beberapa rumah sakit di daerahku. Itu adalah kesempatan yang sangat berharga, tetapi untuk memanfaatkannya, aku harus memastikan produk yang akan aku pasarkan benar-benar memiliki kualitas terbaik, dan aku harus melakukan presentasi yang meyakinkan para pengambil keputusan.

Hati mulai berdebar. Ini adalah ujian yang sesungguhnya. Aku harus membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar seorang sales manager yang pernah bekerja di perusahaan besar. Aku harus menunjukkan bahwa aku, Wiwin, mampu mengelola usaha ini dengan baik, meski dalam skala yang lebih kecil.

Hari itu, aku pergi ke kantor supplier untuk melakukan pengecekan produk. Aku memeriksa kualitas alat kesehatan yang akan aku distribusikan. Produk-produk ini harus memenuhi standar medis yang ketat, karena nyawa manusia bergantung pada kualitas alat-alat ini. Aku tahu, tidak ada kompromi dalam hal ini. Setiap produk harus melewati uji kualitas yang sangat ketat sebelum dapat dijual. Dan aku harus memastikan bahwa produk yang aku tawarkan benar-benar dapat dipercaya.

Selama beberapa minggu setelahnya, aku menghabiskan banyak waktu untuk mempersiapkan proposal yang akan aku presentasikan ke rumah sakit. Aku bekerja lebih keras dari sebelumnya, menggali lebih dalam mengenai setiap produk, mempersiapkan segala sesuatunya dengan hati-hati, dan memastikan tidak ada hal yang terlewat. Sering kali aku merasa tertekan, terutama ketika melihat pesaing yang sudah lebih besar dan lebih berpengalaman. Namun, aku tahu satu hal—usaha kecil ini adalah milikku, dan aku akan berjuang sekuat tenaga untuk membesarkannya.

Aku juga mulai menjalin hubungan dengan berbagai pihak, baik dari rumah sakit, klinik, maupun apotek yang membutuhkan alat kesehatan berkualitas. Satu demi satu, kontak yang kubangun mulai menunjukkan hasil. Aku mulai merasa lebih percaya diri, karena mereka mulai melihatku sebagai partner yang dapat diandalkan. Hal itu memberi dorongan besar dalam diriku untuk terus maju.

Tentu, tidak semuanya berjalan mulus. Terkadang, aku menghadapi penolakan yang keras dari beberapa pihak. Ada yang tidak tertarik bekerja sama, ada juga yang ragu dengan kualitas produk yang aku tawarkan. Itu adalah bagian dari perjalanan ini, dan aku mulai belajar untuk tidak terlalu terpengaruh. Setiap penolakan adalah pelajaran berharga untuk memperbaiki diriku dan usaha ini.

Di tengah-tengah kesibukanku itu, aku kembali mengingat surat yang pernah aku baca beberapa waktu lalu. Surat Al-Insyiroh, yang mengajarkan kita bahwa setelah setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Betapa aku ingin hidupku menjadi seperti itu—penuh dengan kesabaran dan harapan, hingga akhirnya kesulitan itu digantikan dengan kemudahan yang datang dengan sendirinya. Aku pun kembali membaca surat tersebut, dengan hati yang penuh permohonan:

"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(Al-Insyiroh: 6-7)

Aku tahu, perjalanan ini memang tidak mudah. Setiap langkah yang kuambil terasa penuh dengan tantangan dan kesulitan. Namun, aku percaya bahwa di balik semua itu, ada kemudahan yang akan datang. Aku hanya perlu terus berusaha dan tidak pernah menyerah.

Di malam yang sunyi itu, aku berdoa lagi. Doa yang sama yang kuucapkan dengan sepenuh hati. Aku memohon pada Allah agar memberikan petunjuk, kekuatan, dan keberkahan dalam setiap langkahku. Aku memohon agar usaha ini diberkahi, agar aku dapat memberikan manfaat kepada banyak orang dan tidak hanya untuk diriku sendiri. Aku memohon agar aku selalu diberikan ketabahan dalam menghadapi segala ujian hidup, dan agar impian ini bukan hanya sebuah angan-angan, tetapi menjadi kenyataan.

"Ya Allah, Engkau yang Maha Tahu, aku pasrahkan segala harapanku kepada-Mu. Jika usaha ini memang jalan yang Engkau tentukan, permudahlah, dan jika tidak, beri aku petunjuk untuk menjalani takdir-Mu dengan lapang dada. Aku hanya ingin berusaha, Ya Allah."

Aku mengangkat tangan, berharap bahwa doa ini diterima dan menjadi jalan menuju kemudahan. Aku yakin, setiap usaha yang dilakukan dengan niat yang baik dan tekad yang kuat, pasti akan membuahkan hasil.

Setiap hari aku berjalan lebih yakin, walaupun ada ketakutan yang kadang datang menghampiri. Namun, aku tak lagi merasa sendirian. Doa-doa itu menjadi kekuatanku. Langkah-langkah kecil yang aku ambil menuju impian ini semakin berarti, dan aku yakin bahwa suatu hari nanti, aku akan melihat hasil dari segala usaha dan pengorbanan ini.

Hujan turun deras saat aku duduk di ruang tunggu Dinas Kesehatan. Proposal kerja sama ada di tanganku—basah sedikit di bagian tepi karena aku tadi berlari dari parkiran. Di meja depan, ada berkas-berkas yang harus diverifikasi, dan namaku belum juga dipanggil.

Aku menoleh ke kanan. Di sebelahku duduk Rina, teman kuliah dulu yang kini jadi partnerku menjalankan usaha distribusi alat kesehatan. Bukan saudara, bukan keluarga, hanya teman yang percaya pada impianku dan punya mimpi yang sama: mandiri dan bermakna lewat usaha sendiri.

"Apa kita terlalu nekat ya, Win?" tanya Rina pelan.

Aku tersenyum kecil. "Kalau kita nggak nekat sekarang, mungkin nggak akan pernah mulai sama sekali."

Masuk ke dunia bisnis alat kesehatan tidak seperti menjual barang konsumen biasa. Setiap produk harus punya izin edar, terdaftar resmi di e-Katalog, dan sesuai dengan spesifikasi medis yang ketat. Kami baru saja melengkapi sertifikasi TKDN dan AKD dari produsen, dan ini adalah langkah awal untuk menjajaki peluang masuk ke pengadaan fasilitas kesehatan pemerintah.

Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya kami dipanggil ke dalam. Presentasi kami berlangsung cepat—sekitar dua puluh menit. Tapi bukan itu yang berat. Yang berat adalah saat mereka mengajukan pertanyaan yang langsung menusuk realitas:

"Apa keunggulan kalian dibanding distributor besar yang sudah lebih dulu dipercaya rumah sakit di sini?"

Aku terdiam sejenak. Lalu menjawab pelan tapi tegas, "Kami memang baru. Tapi kami mendampingi, bukan sekadar menjual. Kami belajar dari pengalaman belasan tahun sebagai sales. Kami tahu pentingnya edukasi pengguna dan layanan purna jual, bukan hanya harga."

Salah satu pejabat di ruangan itu mengangguk kecil, tapi wajah mereka tetap datar. Kami tahu, meyakinkan mereka bukan perkara satu kali pertemuan. Ini permainan jangka panjang.

Dalam perjalanan pulang, mobil kami melewati jalan-jalan yang becek dan macet. Tapi justru di situ aku merasa: ini perjuangan yang nyata. Aku tidak sedang duduk di kantor besar lagi dengan gaji tetap, tapi aku sedang membangun sesuatu dari nol. Sesuatu yang aku percaya, kelak akan memberiku makna yang lebih besar.

Sesampainya di rumah, aku membuka laptop, mengecek kembali semua dokumen penawaran, mencatat apa saja yang perlu ditingkatkan. Malam itu aku tak hanya begadang untuk bekerja, tapi juga untuk merenung. Perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi aku juga tahu, setiap langkah yang aku tempuh, adalah bagian dari ikhtiar yang jujur.

Aku teringat surat yang pernah aku baca, yang semakin hari makin terasa dekat dengan keadaanku:

"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS Al-Insyiroh: 6–7)

Ayat itu bukan hanya penghiburan. Ia seperti pengingat keras: bahwa kemudahan tidak akan datang jika aku berhenti saat sulit.

Jauh di dalam hatiku, aku tahu: bisnis ini bukan hanya soal alat, bukan hanya soal profit. Ini tentang misi. Tentang bagaimana aku, Wiwin, bisa membawa perubahan kecil di dunia yang pernah mengajariku untuk bertahan dalam kerasnya hidup.

Dan meski jalannya belum terlihat jelas, satu hal pasti—aku tidak sendiri. Aku punya teman seperjuangan yang melihat hal yang sama denganku. Bersama kami melangkah, bukan karena kami tak punya pilihan lain, tapi karena kami ingin memberi warna baru dalam dunia yang kadang terlalu hitam-putih.

Posting Komentar

0 Komentar